Rabu 06 Jan 2021 00:49 WIB

ICW Ungkap Celah Korupsi Pemberian BST

Titik krusial BST ada di data dan distribusinya.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Indira Rezkisari
Petugas mengatur antrean warga saat penyaluran bantuan sosial (bansos) Provinsi Jawa Barat Tahap ke-IV di Kantor Pos Bandung, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Selasa (29/12). Pemerintah Provinsi Jawa Barat mulai mendistribusikan bansos sebesar Rp100 ribu dalam bentuk tunai kepada 1.903.383 Keluarga Rumah Tangga Sasaran (KRTS) penerima bantuan sosial dan ditargetkan selesai pada Rabu (30/12). Foto: Abdan Syakura/Republika
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Petugas mengatur antrean warga saat penyaluran bantuan sosial (bansos) Provinsi Jawa Barat Tahap ke-IV di Kantor Pos Bandung, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Selasa (29/12). Pemerintah Provinsi Jawa Barat mulai mendistribusikan bansos sebesar Rp100 ribu dalam bentuk tunai kepada 1.903.383 Keluarga Rumah Tangga Sasaran (KRTS) penerima bantuan sosial dan ditargetkan selesai pada Rabu (30/12). Foto: Abdan Syakura/Republika

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai tepat langkah Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini yang membagikan bantuan sosial (bansos) pandemi Covid-19 secara tunai. ICW menilai langkah tersebut sesuai dengan kebutuhan penerima serta dapat meminimalisir terjadinya tindak pidana korupsi.

"Tapi bukan berarti tidak ada korupsi, hanya menggeser celah korupsinya saja," kata peneliti ICW Dewi Anggraeni kepada Republika di Jakarta, Selasa (5/1).

Baca Juga

Dia menjelaskan, titik krusial bantuan sosial tunai (BST) ada di data dan distribusinya. Dia mengatakan, data penerima yang seharusnya mendapat dan tidak seharusnya mendapat selalu bermasalah dari awal penyaluran bansos.

Dia menegaskan, pemerintah seharusnya sudah memperhatikan hal tersebut sejak awal. Dia mengatakan, kebijakan menteri Risma terkait BST akan dirasa bisa lebih tepat sasaran kalau datanya juga benar.

Dia mengungkapkan, ada sejumlah masalah lain yang juga harus diperhatikan meski BST memang langsung disalurkan ke rekening penerima. Misalnya, seperti apakah semua penerima bansos mempunyai rekening.

"Jika punya, apakah semua penerima bansos bisa mengaksesnya dalam arti paham penggunaan mesin ATM atau lainnya," katanya.

Dia menjelaskan jika tidak paham maka perantara yang mengambilkan BST tersebut seringkali meminta ‘uang lelah’ alias pungli. Dia melanjutkan, kalau BST tidak kunjung diambil ada bunga bank yang akan menumpuk.

"Dan siapa yang berhak mendapat bunga itu? Harus ada regulasi mengenai hal ini," katanya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku menyoroti permasalahan akurasi data penerima BST. KPK mendapatkan bahwa Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) tidak sesuai data Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan tidak diperbaharui sesuai data kependudukan.

"Masih ada sekitar 16 juta data DTKS yang tidak padan dengan NIK pada Ditjen Dukcapil pada Juni 2020," kata Plt Juru Bicara Bidang Pencegahan KPK Ipi Maryati di Jakarta, Selasa (5/1).

Dia menambahkan, selain itu data penerima bantuan regular seperti PKH, BPNT, PBI-JK tidak merujuk pada DTKS. Dia menjelaskan, ketidakakuratan data ini disebabkan oleh proses pengumpulan data yang tidak didisain berbasis NIK sejak awal.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement