Rabu 13 Jan 2021 07:59 WIB

Karena Rok, Siswi Muslim di Inggris Dipulangkan Berkali-kali

Siham Hamud menolak mengenakan rok pendek dengan alasan agama.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Esthi Maharani
Siham Hamud, menolak mengenakan rok pendek dengan alasan agama
Foto: About Islam
Siham Hamud, menolak mengenakan rok pendek dengan alasan agama

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Sebuah sekolah di Middlesex, Inggris, mengancam akan melakukan tindakan hukum terhadap orang tua dari seorang gadis Muslim berusia 12 tahun, yang dipulangkan dari sekolah setiap hari pada bulan Desember.

Keributan ini diawali karena siswi tersebut, Siham Hamud, menolak mengenakan rok pendek dengan alasan agama. Penolakan tersebut dianggap melanggar aturan berpakaian di sekolah. Hamud, merupakan seorang siswa di Uxbridge High School. Kepada media lokal, ia menyebut tindakan yang dilakukan pihak sekolah dirasa sebagai sebuah penindasan atas apa yang ia yakini.

Ia juga menyebut telah mengenakan rok dengan panjang sampai pergelangan kaki ke sekolah selama bertahun-tahun. Hal ini ia lakukan hingga pihak sekolah menjadikan kebiasaannya sebagai masalah terhadap kedisiplinan, pada Desember 2020.

Kode seragam sekolah, yang diberlakukan dua tahun lalu, mewajibkan siswi mengenakan rok lipit atau celana panjang edisi sekolah.

Dilansir di Vogue, Rabu (13/1), Siham pertama kali didekati oleh para guru tentang masalah tersebut pada tanggal 1 Desember. Setelahnya, ia dipulangkan setiap hari selama sisa semester.

Saat ini, ia menjalani sekolah daring karena pembatasan penguncian Covid-19. Meski demikian, pihak keluarga memperkirakan masalah ini terus berlanjut ketika para murid diizinkan kembali ke kelas, untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka.

Ayah Hamud, Idris, mengatakan ajaran Islam yang mereka ikuti percaya bahwa wanita harus mengenakan rok panjang. Ia berencana melawan semua tuntutan hukum yang dibawa sekolah.

"Yang ingin Siham lakukan hanyalah mengenakan rok yang beberapa sentimeter lebih panjang dari teman sekelasnya, dan aku tidak tahu mengapa sekolah bermasalah dengan ini," kata dia.

Seragam sekolah, khususnya bagi remaja putri, siswa kulit berwarna, dan remaja LGBTQ, telah menjadi titik api dalam beberapa tahun terakhir. Kasus serupa terjadi di Prancis pada tahun 2015, ketika seorang remaja Muslim dipulangkan karena rok panjangnya.

Menurut para guru, pakaian yang digunakan secara mencolok menunjukkan afiliasi agamanya. Undang-undang tahun 2004 di Prancis hanya mengizinkan adanya "tanda-tanda agama yang tersembunyi" di sekolah.

Meskipun detail setiap kasus unik, aturan berpakaian ini dapat membuat siswa rentan terhadap diskriminasi atau penghinaan. Kritikus pasti akan mengatakan kode berpakaian harus berlaku sama untuk semua siswa, tetapi sentimen ini mengabaikan fakta jika mereka tidak bisa memengaruhi semua siswa secara sama.

Tujuan dari kode berpakaian adalah menempatkan siswa sejajar, dimulai dengan pakaian mereka sehingga mereka dapat fokus pada pelajaran. Siapa yang diuntungkan bila seorang remaja putri berusia 12 tahun, dipulangkan setiap hari selama berminggu-minggu? 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement