Kamis 21 Jan 2021 16:04 WIB

Korban Gempa Mamuju Masih Trauma Berada dalam Rumah

Ketika berada dalam rumah korban gempa Mamuju merasa waswas.

Syahgani (6), warga Desa Orobatu yang terluka karena tertimpa puing dampak gempa bumi menunggu dirujuk ke rumah sakit di Tapalang, Mamuju, Sulawesi Barat, Rabu (20/1/2021). Syahgani dan ibunya Nurliati dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut, sementara ayahnya meninggal dunia saat gempa magnitudo 6,2 mengguncang daerah tersebut.
Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan
Syahgani (6), warga Desa Orobatu yang terluka karena tertimpa puing dampak gempa bumi menunggu dirujuk ke rumah sakit di Tapalang, Mamuju, Sulawesi Barat, Rabu (20/1/2021). Syahgani dan ibunya Nurliati dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut, sementara ayahnya meninggal dunia saat gempa magnitudo 6,2 mengguncang daerah tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, MAMUJU -- Gempa bumi berkekuatan 6,2 magnitudo yang mengguncang wilayah Kabupaten Mamuju dan Kabupaten Majene, pada Jumat dini hari (15/1) sekitar pukul 02. 30 WITA, menyisakan trauma yang dalam bagi warga di daerah itu. Gempa yang berpusat enam kilometer timur laut Kabupaten Majene 2.98 LS-118.94 BT pada kedalaman 10 kilometer, dan telah merobohkan banyak bangunan serta menyebabkan puluhan korban jiwa itu meninggalkan luka psikis warga di dua kabupaten di Sulbar.

"Sampai saat ini, (hari keenam pascagempa), saya belum berani berlama-lama di dalam rumah. Setiap berada di dalam rumah, ada perasaan takut dan was-was akan terjadinya gempa lagi," kata seorang warga Mamuju Syukur, Kamis (21/1).

Baca Juga

Warga tersebut mengaku, masih bertahan di depan rumahnya bersama para tetangganya yang mencoba bertahan. Mereka tidak pergi mengungsi jauh dari kawasan perumahan tempatnya tinggal.

"Kami sempat berpikir untuk mengungsi meninggalkan Kota Mamuju setelah ada informasi akan terjadi gempa susulan dengan kekuatan yang lebih besar, bahkan akan diikuti tsunami. Kami sempat panik, apalagi para ibu-ibu dan anak-anak. Setelah kami pertimbangkan, akhirnya kami putuskan untuk tetap bertahan di sini," ujar Syukur.

Bukan hanya para orang tua yang traumatik pascagempa berkekuatan 6,2 magnitudo itu, namun para anak-anak juga mengalami trauma. Bahkan, kata warga tersebut, anaknya setiap mendengar suara yang keras langsung histeris dan menjerit ketakutan.

"Malam kejadian itu, suasananya sangat mencekam. Saat terjadi gempa, gemuruh tembok yang patah ditambah suara keras benda-benda yang jatuh membuat kami, terlebih anak-anak sangat ketakutan. Inilah yang selalu membayangi kami setiap berada di dalam rumah," ucapnya.

"Sampai saat ini, anak saya mengalami demam, apalagi saat mendengar suara yang keras, demamnya langsung naik. Insya Allah, jika kondisi sudah benar-benar aman, saya akan membawa keluarga refreshing untuk menghilangkan traumatik akibat gempa ini," tutur Syukur.

Warga lainnya Adnan juga mengaku, jika berada di dalam rumahnya yang rusak akibat gempa selalu dibayang-bayangi rasa takut dan khawatir terjadi gempa susulan.

Padahal, enam hari pascagempa 6,2 magnitudo itu, hanya beberapa kali terjadi gempa susulan, dengan skala yang lebih kecil. Namun warga kata Adnan, masih selalu dihantui rasa takut akan terjadinya gempa susulan yang lebih besar.

"Setiap berada di dalam rumah, perasaan saya seolah oleng, padahal tidak terjadi gempa. Mungkin ini yang disebut traumatik, sebab kami selalu dibayang-bayangi perasaan takut," tuturnya.

Warga korban gempa di Mamuju berharap, ada pendampingan psikologis di tenda-tenda pengungsian, agar warga korban gempa secara berangsur bisa menghilangkan perasaan traumatis dampak gempa. "Khususnya untuk anak-anak, perlu pendampingan khusus agar tidak menjadi bayang-bayang mereka kelak," kata Adnan.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement