REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam lima tahun terakhir, produktivitas kelapa sawit Indonesia disebut masih lebih rendah dibandingkan Malaysia. Kepala Pusat Kebijakan APBN Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Ubaidi Socheh Hamidi mengatakan, hal itu terjadi karena banyak lahan sawit yang belum matang, perawatan dan penggunaan pupuk yang belum optimal. Selain itu, dukungan bagi petani plasma ia anggap belum sebaik di Malaysia.
“Ada beberapa tantangan di sektor hulu yaitu keterbatasan lahan dan moratorium perluasan lahan, kesejahteraan perkebun mandiri termasuk isu sengketa lahan, deforestasi dan degradasi lahan. Ini adalah tantangan yang harus dimitigasi risikonya terutama dalam pembuatan kebijakan,” kata Ubaidi dalam diskusi Katadata Virtual Forum Series dengan tema Dampak Ekonomi Sawit bagi Daerah, Kamis (28/1).
Ubaidi menambahkan, untuk mengatasi tantangan yang dihadapi di sektor hulu sawit, pemerintah sudah menyiapkan program Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Program BPDPKS antara lain pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, hilirisasi industri perkebunan kelapa sawit dan penyedian dan pemanfaatn bahan bakar nabati.
"Program tersebut diharapkan mampu meningkatkan kinerja sektor sawit Indonesia, menciptakan pasar domestik, menyerap kelebihan CPO di pasar dalam rangka stabilisai harga dan meningkatkan kesejahteraan petani," ujar dia.
Program OfficerCenter Tata Kelola Sawit Madani Berkelanjutan Trias Fetra menilai penggunaan dana perkebunan sawit belum maksimal memberikan kesejahteraan bagi petani sawit. Dia mengatakan, dari Rp 11 triiliun dana sawit, sekitar 80 persen digunakan untuk subsidi biodiesel. Tujuannya, kata Trias, agar produksi biodiesel meningkat sehingga mampu menyerap produksi CPO sehingga mampu mendongkrak harga CPO dan implikasi lainnya meningkatkan harga tandan buah segar sawit.
“Namun, berdasarkan hasil analisis input output, penggunaan dana sawit untuk subsidi biodiesel tidak memberikan nilai mannfaat besar terhadap keseimbangan faktor produksi dibanding menggunakannya untuk program yang berkaitan langsung dengan perkebunan sawit,” ujarnya.
Trias menambahkan, kebijakan penggunaan dana sawit untuk subsidi biodiesel bisa dikatakan belum optimal. Itu karena, nilai tukar petani perkebunan rakyat tidak meningkat kecuali pada 2017. Padahal, masih menurut dia, apabila dana tersebut digunakan sepenuhnya untuk sawit maka akan terjadi peningkatan pertumbuhan output pada sektor produksi perkebunan sawit sekitar 6,52 persen.
Trias juga mengungkapkan tentang minimnya alokasi anggaran daerah untuk petani sawit. Ia mencontohkan, berdasarkan data pada 2020, provinsi Riau mengalokasikan 66 persen anggaran di Dinas Perkebunan tidak spesifik digunakan untuk alokasi langsung pada peningkatan kesejahteraan petani sawit. Padahal, Riau merupakan provinsi dengan tutupan sawit terbesar di Indonesia.
“Kondisi petani sawit kita masih jauh dari sejahtera. Dalam tata niaga industri ini, petani sawit masih dikebiri, dana sawit yang harusnya untuk mereka dikooptasi oleh korporasi dan petani sawit juga belum menjadi prioritas terkait anggaran di daerah,” klaim dia.
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat Heronimus Hero mengungkapkan, perkebunan kelapa sawit membantu meningkatkan sumber devisa provinsi Kalimantan Barat serta membuka lapangan kerja.
Oleh karena itu, untuk mengelola perkebunan sawit, Pemprov Kalimantan Barat terus meningkatkan kapasitas perkebun seperti penggunaan benih bersertifikat, lalu perbaikan tata kelola dan penangaan konflik serta pengawasan lingkungan dan penguatan akses pasar.