REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi mengingatkan berbagai pihak tentang pentingnya kawasan hutan sebagai elemen penting dalam konservasi. Karena itu, dia menegaskan, area hutan seharusnya tidak boleh dialihfungsikan menjadi pemukiman.
"Harusnya area hutan tidak boleh dialihfungsikan sebagai kawasan pemukiman, itu akan menyebabkan hilangnya pohon-pohon besar dan juga batu yang berada di aliran sungai tidak bisa menahan air yang turun dari atas," kata Dedi lewat keterangan tertulis, Sabtu (30/1).
Sebagai anggota dewan, Dedi juga telah memimpin tim kunjungan kerja Komisi IV DPR RI meninjau lokasi terkait terjadinya bencana banjir bandang di Kabupaten Bogor, beberapa waktu lalu.Ia menilai penyebab banjir bandang tersebut disebabkan adanya pengalihfungsian lahan di kawasan Gunung Mas sehingga pemerintah setempat dan PTPN diharapkan segera mereboisasi area tersebut."Jangan sampai menyalahkan hujannya. Tetapi kita harus sadar diri bahwa area tersebut merupakan area hutan bukan untuk tempat tinggal," jelas Dedi.
Ia juga menyarankan agar area tersebut ditanam kembali pohon-pohon yang berfungsi sebagai penahan air. Menurut dia, para penduduk yang tinggal di area tersebut harus segera direlokasi agar nantinya kawasan tersebut berfungsi sebagaimana mestinya.
Selain itu, ujar dia, berbagai pihak terkait juga diharapkan dapat meneliti jumlah hutan di Bogor. Apabila jumlahnya berkurang, maka sejumlah perkebunan yang kurang produktif dan tidak menguntungkan itu statusnya dapat diubah menjadi hutan.
Sebelumnya, Dedi Mulyadi juga telah menegaskan prinsip konservasi dalam pengelolaan sektor kelautan dan perikanan harus lebih diutamakan dibandingkan penerapan prinsip korporasi yang hanya mencari laba atau keuntungan semata."Pengelolaan kawasan perairan dan lautan harus diterapkan untuk tujuan konservasi. Manfaat dan fungsi ekonomi didapat dari langkah konservasi tersebut, bukan sebaliknya," kata Dedi Mulyadi dalam webinar tentang Masyarakat Bahari dan Pandemi COVID-19 di Jakarta, Kamis (28/1).
Menurut dia, masih kerap terjadi legalisasi atau pembuatan produk kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip pengelolaan yang berkelanjutan.Hal tersebut, lanjutnya, diduga karena banyak dari mereka yang berlatar belakang dari dunia usaha yang menjadi pengambil keputusan."Banyak pihak yang ingin melakukan percepatan pertumbuhan tetapi secara individu atau korporasi," katanya.