REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus mengatakan, pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 2024 masih menggunakan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 dan UU Nomor 10 Tahun 2016. Dalam UU tersebut, pemungutan suara Pilkada dijadwalkan pada November 2024.
Namun, ia mendengar pernyataan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang keberatan atas jadwal Pemilu dan Pilkada 2024 yang berimpitan. Menurutnya, jika persoalan jadwal tersebut memang krusial maka dapat direvisi melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
"Kalau seandainya itu sesuatu yang krusial kan bisa lewat Perppu hanya tentang masalah jadwal. Misalnya, jadwalnya digeser menjadi bulan Desember atau di bulan Maret atau di bulan April 2025, itu enggak perlu pembahasan Undang-Undang," ujar Guspardi saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (4/3).
Ia mengatakan, perubahan jadwal melalui perppu itu seperti halnya penundaan pelaksnaaan waktu pencoblosan Pilkada 2020 dari September menjadi Desember akibat pandemi Covid-19. Dengan demikian, kata Guspardi, tak perlu ada pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada.
Guspardi menilai, waktu pelaksanaan pemungutan suara menjadi cukup krusial karena KPU perlu mengantisipasi putaran kedua pada pemilihan presiden (pilpres) nanti. Pelaksanaan putaran kedua pilpres akan menambah beban penyelenggara, yang juga harus melaksanakan tahapan pilkada serentak dalam waktu yang bersamaan.
"Bagaimana antisipasinya, biar saja lah lewat Perppu dalam menyelesaikan itu hanya sekadar melakukan penundaan terhadap pelaksanaan Pilkada," tutur Guspardi.
Ia menegaskan, selama belum ada revisi, KPU tetap berpedoman regulasi yang masih berlaku yakni UU 7/2017 tentang Pemilu dan UU 10/2016 tentang Pilkada. Ia mengingatkan, KPU hanya sebagai pelaksana UU, bukan yang menentukan kebijakan.
Guspardi mengeklaim, DPR sudah memahami apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan KPU dalam pelaksanaan pemilihan, berdasarkan pengalaman penyelenggaraan pemilihan sebelumnya. Menurut dia, Komisi II DPR akan mengundang KPU untuk membicarakan persoalan ini setelah ada keputusan tidak masuknya RUU Pemilu dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2021.
"Sekadar masukan dan saran enggak masalah, kita akan membicarakan itu nanti," kata Guspardi.
Untuk diketahui, dalam UU Pemilu, penetapan pasangan calon terpilih paling lambat empat belas hari sebelum berakhirnya masa jabatan presiden dan wakil presiden. Sedangkan, masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin akan berakhir pada 20 Oktober 2024.
Dengan demikian, pasangan calon terpilih harus sudah ada pada 6 Oktober 2024. Pada Pemilu 2019 lalu, pemungutan suara pilpres dilangsungkan pada April dengan mempertimbangkan adanya sengketa hasil ke Mahkamah Konstitusi (MK) maupun pelaksanaan putaran kedua.
Sebelumnya, Anggota KPU RI Viryan Azis mengusulkan, tahapan Pemilu 2024 dimulai sejak 30 bulan sebelum pemungutan suara. Jika pencoblosan dijadwalkan April 2024, maka tahapan pilpres maupun pemilihan legislatif (pileg) diperkirakan mulai sekitar November 2021.
"Pengalaman Pemilu 2019 dengan 20 bulan terdapat sejumlah masalah dan dampak yang perlu diupayakan tidak terulang kembali," ujar Viryan Aziz.