Oleh : Teguh Firmansyah*
REPUBLIKA.CO.ID, Krisis politik di Myanmar belum menunjukkan akan mereda. Seruan perhimpunan negara Asia Tenggara (ASEAN) agar pihak junta menahan diri serasa tak digubris.
Kekerasan militer terhadap demonstran terus berlanjut, dan lebih dari 200 orang tewas. ASEAN pun menjadi sorotan dunia internasional, karena tidak bisa 'melobi' atau menundukkan bagian dari keluarganya.
ASEAN dianggap tidak bersikap tegas karena hanya bisa 'mengimbau', 'mengingatkan', 'meminta' atau 'mendesak' Myanmar tanpa bisa lebih jauh dari itu. Pendekatan ASEAN yang terlalu lunak membuat junta Myanmar seperti memandang sebelah mata.
Ada beberapa alasan mengapa ASEAN seperti tidak bisa bertindak terlalu jauh. Pertama, ASEAN terganjal oleh ketentuan tidak boleh mencampuri urusan dalam negeri orang lain. Dalam pasal 2 Piagam ASEAN soal Prinsip disebutkan salah satunya bahwa negara-negara di ASEAN tidak bisa campur tangan urusan dalam negeri negara-negara anggota ASEAN.
Tapi prinsip ini sebenarnya tidak berdiri sendiri. Ada nilai-nilai di dalam Piagam ASEAN yang juga harus dikedepankan. Nilai dimaksud adalah tetap berpegang teguh pada aturan hukum, tata kepemerintahan yang baik, prinsip-prinsip demokrasi dan pemerintahan yang konstitusional. Kemudian juga menghormati kebebasan fundamental, pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, dan pemajuan keadilan sosial. Semua itu ada di dalam Piagam ASEAN.
Prinsip itu jelas-jelas telah dilanggar oleh junta Myanmar. Inilah mengapa Menlu RI Retno P Marsudi dalam konferensi pers pun telah mengingatkan Myanmar soal ini bahwa prinsip tak boleh intervensi dalam Piagam ASEAN tidak bisa berdiri sendiri. Ada nilai-nilai lain yang juga harus dijunjung.
Namun apalah artinya tekanan tanpa ada konsekuensi. Bagaimanpun juga dari 55 pasal yang ada dalam Piagam ASEAN tidak ada satu pun yang membicarakan tentang sanksi.
Lantas bagaimana jika ada yang melanggar Piagam? Dalam Pasal 20 dijelaskan, "Dalam hal suatu pelanggaran serius terhadap Piagam atau ketidakpatuhan, hal dimaksud wajib dirujuk ke Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN untuk diputuskan."
Namun KTT ASEAN pun tak otomatis mengeluarkan sanksi tegas, karena belum tentu semua negara memiliki pemahaman yang sama. Peneliti LIPI Dewi Fortuna Anwar dalam satu webinar mengatakan, sebenarnya dalam penyusunan Piagam ASEAN sempat masuk klausul sanksi oleh tim penyusun. Namun akhirnya usulan sanksi itu dihapus dalam pembahasan tingkat lebih tinggi.
Alasan kedua, mengapa negara ASEAN kurang memiliki taji karena di negara anggota juga ada pemimpin negera yang lahir dari rezim junta. Negara yang dimaksud adalah Thailand. Beberapa kali militer Myanmar mengkudeta pemimpin sipil yang sah. Terakhir yakni Jenderal Prayuth Chan Ocha yang mengudeta PM Yingluck Shinawatr pada 2014. Prayuth kini masih memimpin sebagai perdana menteri Thailand.
Sebelumnya pada 2006, perdana menteri Thailand dari sipil Thaksin Shinawatra juga digulingkan oleh militer. Inilah mengapa, menlu Myanmar yang ditunjuk oleh militer sempat berkunjung ke Thailand pascakudeta Suu Kyi kemarin. Myanmar bisa menjadikan Thailand sebagai sekutu di negara-negara ASEAN.
Alasan ketiga, mengapa ASEAN sulit menjatuhkan sanksi yakni ada kekuatan proksi yang bermain. China, bagaimana pun memiliki pengaruh cukup kuat dalam dinamika perpolitikan di negara-negara Asia Tenggara. Meski China berulangkali mengingatkan agar militer Myanmar menahan diri, namun Beijing tak jua melontarkan kecaman, apalagi sanksi.
Oleh karena itu keputusan China ke depan akan sangat ditunggu dan memiliki pengaruh, tak hanya di mata ASEAN, tapi juga negara-negara Barat yang menanti Beijing bersikap lebih tegas. Sekeras sanksi apapun yang dijatuhkan terhadap Myanmar, tapi jika China masih mendukung lewat kontak ekonomi, maka akan sulit berjalan efektif.
Lantas keputusan apa yang paling memungkinkan diambil negara-negara ASEAN untuk Myanmar? Salah satu sikap keras yang mungkin bisa saja diambil adalah mengisolasi Myanmar dari berbagai pertemuan internasional. Myanmar tidak diikutsertakan dalam beragam agenda ASEAN sampai mereka mau melaksanakan transisi dan membebaskan Suu Kyi. Tapi sekali lagi, apakah semua negara anggota sepakat?
*) Penulis adalah jurnalis Republika.co.id