REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - - Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI), Firman Noor mengungkapkan, sejumlah faktor yang menghambat soliditas partai politik di Indonesia pascareformasi. Pertama, adanya manuver dari elite politik yang menerabas aturan dan kepatutan partai.
"Hal itu dapat menimbulkan perlawanan. Manuver ini biasanya terkait dengan pengelolaan partai yang bersifat person beyond institution," ujar Firman dalam sebuah diskusi daring, Kamis (25/3).
Salah satunya terjadi kepada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 2014. Saat terdapat dua kubu yang mendukung pasangan calon presiden yang berbeda, sehingga menimbulkan konflik yang berkepanjangan.
Fakor Penghambat kedua adalah perbedaan pendapat yang tidak terjembatani oleh internal partai. Terutama dalam memakai aturan main, seperti alasan pemecahan dan legitimasi pelaksanaan forum-forum partai.
"Kenapa ini terjadi? Karena elite merasa jadi owner partai dan dia mengelola secara person saja sehingga dia bisa melakukan kebijakan yang beyond institution. Justru inilah yang kemudian menjadi sumber konflik," ujar Firman.
Selanjutnya adalah tidak bekerjanya media arbitrase atau pihak yang menyelesaikan konflik internal partai. Ketika hal tersebut tak berjalan, masing-masing kubu yang berkonflik akan memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat aturan partai.
Menurutnya, hal inilah yang terjadi pada Partai Demokrat saat ini. Ketika kubu Agus Harimurti Yudhoyono menganggap sah AD/ART 2020, tetapi kubu Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) justru memandang sebaliknya.
"Jadi ini memang pola yang terus berulang, setiap faksi itu merasa yang paling legitimate dan paling bisa membaca aturan main yang paling tepat," ujar Firman.
Faktor keempat, yakni adanya kesetiaan ganda pada kelompok atau patreon tertentu. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya dualisme kepengurusan, saat dua kubu yang berkonflik saling mengklaim bahwa merekalah yang sah.
Lalu, pola kepemimpinan yang tidak merangkul dan tidak demokratis juga menjadi salah satu penghambat soliditas di internal partai politik. Terakhir, adanya intervensi kepentingan unsur eksternal, penguasa, dan aktor politik.
"Ini juga disebabkan oleh lemahnya ideologisasi dan loyalitas pada idealisme partai. Loyalitas lebih kepada patreon ya, atau kelompok faksi-faksi di dalamnya," ujar Firman.