Rabu 05 May 2021 17:25 WIB

Sadap Menyadap Perkara Rasuah tak Perlu Lagi Izin Dewas KPK

MK membatalkan kewenangan Dewas KPK terkait izin penyadapan terkait perkara korupsi.

Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean (kiri) bersama anggota Dewan Pengawas Syamsuddin Haris (tengah) dan Harjono (kanan) memberikan keterangan pers di Gedung KPK C1, Jakarta. Berdasarkan putusan MK, kegiatan penyadapan terkait perkara korupsi tak perlu lagi memerlukan izin dari Dewan Pengawas. (ilustrasi)
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean (kiri) bersama anggota Dewan Pengawas Syamsuddin Haris (tengah) dan Harjono (kanan) memberikan keterangan pers di Gedung KPK C1, Jakarta. Berdasarkan putusan MK, kegiatan penyadapan terkait perkara korupsi tak perlu lagi memerlukan izin dari Dewan Pengawas. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mimi Kartika, Rizkyan Adiyudha

Baca Juga

Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (4/5) mengabulkan sebagian permohonan perkara nomor 70/PUU-XVII/2019 terhadap uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Salah satunya, MK menyatakan Pasal 12B, Pasal 37B Ayat 1 huruf b, dan Pasal 47 Ayat 2 UU 19/2019 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

"Dalam pengujian materiel, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan, Selasa (4/5).

Pasal 12B yang dinyatakan inkonstitusional itu berisi empat ayat. Pasal 12B Ayat 1 berbunyi, "Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Ayat 1 dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas."

Dengan demikian, ketentuan Pasal 37B Ayat 1 dan Pasal 47 Ayat 2 juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum tetap. Pasal 37B Ayat 1 berbunyi, "Dewan Pengawas bertugas: b. memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan."

Pasal 47 Ayat 2 berbunyi, "Dewan Pengawas dapat memberikan izin tertulis atau tidak memberikan izin tertulis terhadap permintaan izin sebagaimana dimaksud pada ayat 1 paling lama 1 x 24 jam sejak permintaan izin diajukan." Sementara, MK menyatakan frasa "atas izin tertulis dari Dewan Pengawas" dalam Pasal 47 Ayat 1 inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai, "dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas."

Dalam pertimbangannya, MK berpendapat, kedudukan dewan pengawas tidak bersifat hierarkis dengan pimpinan KPK. Anggota MK Aswanto menjelaskan, dalam desain besar pemberantasan korupsi, pimpinan KPK dan dewan pengawas tidak saling membawahi, tetapi saling bersinergi dalam menjalankan fungsi masing-masing.

KPK dalam melaksanakan tugas dan kewenangan yudisial bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, termasuk ketika KPK melakukan penyadapan sebagai bentuk perampasan kemerdekaan orang atau hak privasi yang merupakan bagian dari tindakan pro justitia.

Adanya ketentuan yang mengharuskan KPK untuk meminta izin kepada dewan pengawas sebelum dilakukan penyadapan tidak dapat dikatakan sebagai pelaksanaan checks and balances. Sebab, pada dasarnya dewan pengawas bukanlah aparat penegak hukum sebagaimana kewenangan yang dimiliki pimpinan KPK.

Berkenaan dengan pertimbangan di atas, Mahkamah menegaskan, adanya kewajiban pimpinan KPK mendapatkan izin Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan merupakan bentuk campur tangan atau intervensi terhadap aparat penegak hukum oleh lembaga yang melaksanakan fungsi di luar penegakan hukum. Hal itu juga merupakan bentuk nyata tumpang-tindih kewenangan dalam penegakan hukum, khususnya kewenangan pro justitia yang seharusnya hanya dimiliki oleh lembaga atau aparat penegak hukum.

Aswanto menuturkan, tindakan-tindakan penegakan hukum yang di dalamnya mengandung upaya-upaya paksa yang kerap beririsan dengan perampasan kemerdekaan orang atau barang, adalah tindakan yang hanya bisa dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang secara kelembagaan telah tertata dalam kelembagaan criminal justice system.

Berkenaan dengan tindakan penyadapan sangat terkait dengan hak privasi seseorang, penggunaannya harus dengan pengawasan yang cukup ketat. Artinya, terkait dengan tindakan penyadapan yang dilakukan KPK tidak boleh dipergunakan tanpa adanya kontrol atau pengawasan meskipun bukan dalam bentuk izin yang berkonotasi ada intervensi dalam penegakan hukum oleh dewan pengawas kepada pimpinan KPK.

"Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan tindakan penyadapan yang dilakukan pimpinan KPK tidak memerlukan izin dari dewan pengawas," kata Aswanto.

Dia melanjutkan, pimpinan KPK cukup memberitahukan kepada dewan pengawas yang mekanismenya akan dipertimbangkan bersama-sama dengan pertimbangan hukum. Hal ini berkaitan dengan izin atas tindakan penggeledahan dan/atau penyitaan oleh KPK pada pertimbangan hukum selanjutnya.

Sebagai konsekuensi yuridis, dewan pengawas tidak dapat mencampuri kewenangan yudisial atau pro justitia. Dengan begitu, MK pun menyatakan frasa "dipertanggungjawabkan kepada Dewan Pengawas" dalam Pasal 12C Ayat 2 inkonstitusional, sepanjang tidak dimaknai "diberitahukan kepada Dewan Pengawas".

Hal serupa juga terjadi pada Pasal 40 Ayat 2. MK menyatakan frasa "harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai "diberitahukan kepada Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja."

Permohonan perkara nomor 70/PUU-XVII/2019 diajukan Anang Zubaidy dan kawan-kawan yang merupakan advokat/konsultan hukum di Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

photo
KPK - (republika/mgrol100)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement