REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai, empat pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selain Firli Bahuri, tidak berguna. Hal tersebut dia sampaikan menyusul polemik 75 pegawai berintegritas yang terpaksa non aktif akibat tes wawasan kebangsaan (TWK).
"Tidak bisa dilihat apapun sikap dan pilihan. Lebih banyak dari mereka sebagai orang yang tidak berguna saja di KPK," kata Feri di Jakarta, Jumat (14/5).
Dia menyebut, bahwa pimpinan KPK saat ini tidak lagi menganut prinsip kolektif kolegial lantaran empat pimpinan lain hanya menuruti keputusan Firli Bahuri. Dia mengibaratkan, kalau empat pimpinan yang tidak memiliki sikap itu hanya boneka yang digerakkan oleh kepentingan yang sama terhadap Firli Bahuri.
"Inilah anehnya, empat pimpinan lain tidak memahami kolektif kolegial," kata Feri yang merupakan pegiat antikorupsi ini.
Lebih lanjut, Feri juga menyesalkan sikap Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang sepertinya acuh terhadap permasalahan yang tengah terjadi. Dia mengatakan, kalau Dewas juga menjadi bagian dari "permainan" yang kali ini terjadi di tubuh lembaga antirasuah tersebut.
"Bagi saya, Dewas KPK dari dulu sudah dicurigai merupakan bagian dari permainan ini. Itu sebabnya, tidak banyak di antara dewas yang bersikap tegas," katanya.
Seperti diketahui, TWK yang diikuti 1.351 pegawai KPK itu sukses menyingkirkan 75 pegawai berintegritas semisal penyidik senior, Novel Baswedan, Ketua Wadah Pegawai KPK yang juga penyidik Yudi Purnomo, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono dan Kasatgas KPK Harun Al-Rasyid. Mereka dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) berdasarkan tes tersebut.
KPK kemudian menerbitkan Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 tentang Hasil Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan. Surat tertanda Ketua KPK Firli Bahuri dan salinannya ditandatangani Plh Kepala Biro SDM Yonathan Demme Tangdilintin itu memerintahkan pegawai yang tidak lolos untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawab mereka kepada atasan langsung.
Penyelidik Harun Al Rasyid menyebut, keputusan penyelenggaran TWK tidak dibuat oleh seluruh pimpinan lembaga antirasuah tersebut. Dia mengungkapkan, bahwa Ketua KPK Firli Bahuri-lah yang getol mendorong agar dilakukannya tes tersebut.
"Saya beberapa kali komunikasi dengan pimpinan yang lain, dan ini sudah dinyatakan oleh pimpinan lainnya ternyata bahwa di KPK itu sudah tak ada kolegial, Ketua KPK yang gigih dan getol mendorong untuk dilakukannya tes wawasan kebangsaan," kata Harun dalam keterangannya.
Dia mengatakan, Firli tidak mendengar nasihat empat pimpinan KPK lainnya. Harun juga menyebut Firli pintar membangun narasi publik serta mengatur strategi untuk membuat para pimpinan KPK yang lain diam untuk menjelaskan tes itu.
"Andai saja pimpinan lainnya berani nyatakan ini ke publik bahwa yang 'disampaikan oleh ketua KPK bahwa pelaksanaan TWK itu adalah keinginan pimpinan secara kolektif kolegial tidak benar dan omong kosong' pasti sudah game over permainan ini," katanya.
Belakangan, KPK membantah telah menonaktifkan 75 pegawai yang tidak lulus TWK. KPK mengaku, saat ini masih berkoordinasi secara intensif dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Kemenpan RB terkait dengan tindak lanjut terhadap 75 pegawai tersebut.
"Dapat kami jelaskan bahwa saat ini pegawai tersebut bukan nonaktif karena semua hak dan tanggung jawab kepegawaiannya masih tetap berlaku," kata Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri di Jakarta, Selasa (11/5).
Dia menjelaskan, SK meminta agar para pegawai TMS menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya kepada atasan langsung sampai dengan ada keputusan lebih lanjut. Dia berdalih bahwa hal itu dilakukan guna memastikan efektivitas pelaksanaan tugas di KPK.
"Penyerahan tugas ini dilakukan semata-mata untuk memastikan efektivitas pelaksanaan tugas di KPK agar tidak terkendala dan menghindari adanya permasalahan hukum berkenaan dengan penanganan kasus yang tengah berjalan," kilahnya.