Rabu 19 May 2021 03:45 WIB

Kelima Pimpiman KPK Dilaporkan ke Dewas

Ada tiga hal yang mendasari laporan kelima pimpinan KPK itu ke Dewas.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Agus Yulianto
Ketua KPK Firli Bahuri
Foto: Prayogi/Republika.
Ketua KPK Firli Bahuri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilaporkan ke Dewan Pengawas (Dewas). Pelaporan dilakukan menyusul dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) pimpinan KPK nomor 625 tentang status lanjutan 75 pegawai lembaga antirasuah yang tidak memenuhi syarat (TMS) berdasarkan tes wawasan kebangsaan (TWK).

"Kenapa kami melaporkan pimpinan KPK pada hari ini? Karena kami melihat bahwa ada beberapa hal yang seharusnya tidak terjadi di lembaga korupsi seperti KPK dan hal ini juga merupakan suatu hal yang perlu kami perjuangkan demi kepentingan publik," kata Kepala satuan tugas pembelanjara anti korupsi, Hotman Tambunan di Jakarta, Selasa (18/5).

Dia menjelaskan, ada tiga hal yang mendasari laporan tersebut. Pertama, adanya kesewenang-wenangan pimpinan terkait TWK. Dia mengatakan, Mahlamah Konstitusi (MK) pada 4 Mei 2021 Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa TWK tidak akan memiliki konsekiensi terhadap pegawai.

"Tapi pada 7 Mei pimpinan mengeluarkan SK 652 yang notabene sangat merugikan pegawai," katanya.

Alasan kedua berkenaan dengan kejujuran. Hotman menjelaskan, dalam berbagai sosialisasi pimpinan KPK mengatakan bahwa tidak ada konsekuensi TWK sehingga para pegawai menilai bahwa asesmen bukanlah suatu hal yang bisa meluluskan dan tidak meluluskan suatu hal.

Alasan ketiga adalah kepedulianmua terhadap pegawai perempuan di KPK. Hotman menerangkan, tidak ada yang menginginkan suatu lembaga negara digunakan untuk melakukan suatu hal yang diindikasikan bersifat pelecehan seksual terkait TWK

"Jika bapak ibu melihat, bahwa untuk lembaga seperti KPK dilakukan seperti ini, apa yang terjadi terhadap tes-tes yang lain yang notabene nilai tawar mereka tidak sekuat KPK," katanya.

Seperti diketahui, TWK pegawai KPK menuai polemik lantaran membuat soal yang tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi pemberantasan korupsi. Diantara pertanyaan yang muncul yakni pandangan pegawai seputar FPI, Muhammad Rizieq Shihab, HTI, alasan belum menikah, kesediaan menjadi istri kedua, doa qunut dalam shalat hingga LGBT.

TWK yang diikuti 1.351 pegawai KPK itu sukses menyingkirkan 75 pegawai berintegritas semisal penyidik senior, Novel Baswedan, Ketua Wadah Pegawai KPK yang juga penyidik Yudi Purnomo, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono dan Kasatgas KPK Harun Al-Rasyid. Mereka dinyatakan TMS berdasarkan tes tersebut.

KPK kemudian menerbitkan Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 tentang Hasil Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan. Surat tertanda Ketua KPK Firli Bahuri dan salinannya ditandatangani Plh Kepala Biro SDM Yonathan Demme Tangdilintin itu memerintahkan pegawai yang tidak lolos untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawab mereka kepada atasan langsung.

Belakangan, Presiden Joko Widodo menegaskan agar TWK tidak boleh serta-merta dijadikan dasar untuk memberhentikan pegawai KPK yang dinyatakan TMS. Dia mengatakan, KPK harus memiliki SDM terbaik dan berkomitmen tinggi dalam upaya pemberantasan korupsi.

Mantan wali kota Solo ini melanjutkan, pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN harus menjadi bagian dari upaya untuk pemberantasan korupsi yang lebih sistematis. Jokowi berpendapat bahwa hasil TWK seharusnya menjadi masukan untuk langkah perbaikan KPK.

Meski ada perintah tersebut, KPK kembali melempar bola terkait nasib 75 pegawai berstatus TMS ke Kemenpan RB. KPK mengaku, akan menindaklanjuti arahan presiden dengan koordinasi dengan KemenPAN RB, Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan lembaga terkait lainnya.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement