Sabtu 22 May 2021 17:03 WIB

Ekonom: Jangan Ada Motif Bisnis di Vaksin Gotong Royong

Harga vaksin gotong royong ditetapkan Rp 321 ribu.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Dwi Murdaningsih
Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin Covid-19 kepada peserta vaksin gotong royong di sentra vaksinasi gotong royong di Senayan Park Mall, Jakarta, Rabu (19/5). Sentra vaksinasi gotong royong ini diharapkan dapat memudahkan pelaksanaan vaksinasi bagi peserta program vaksin gotong royong yang diperuntukkan kalangan swasta, khususnya usaha menengah dan kecil. Prayogi/Republika
Foto: Prayogi/Republika.
Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin Covid-19 kepada peserta vaksin gotong royong di sentra vaksinasi gotong royong di Senayan Park Mall, Jakarta, Rabu (19/5). Sentra vaksinasi gotong royong ini diharapkan dapat memudahkan pelaksanaan vaksinasi bagi peserta program vaksin gotong royong yang diperuntukkan kalangan swasta, khususnya usaha menengah dan kecil. Prayogi/Republika

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Achmad Nur Hidayat mengatakan, vaksin gotong royong harus terbebas dari motif bisnis kelompok pihak tertentu.

Harga vaksin gotong royong ditetapkan Rp 321.660 dengan tarif maksimal pelayanan vaksinasi sebesar Rp 117.910.

Baca Juga

Tarif ini berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) No.HK.01.07 tentang Penetapan Besaran Harga Pembelian Vaksin Produksi Sinopharm melalui penunjukan PT Bio Farma (Persero) dalam Pelaksanaan Pengadaan Vaksin Covid19 dan Tarif Maksimal Pelayanan Vaksinasi Gotong Royong.

"Harga vaksin gotong royong yang mahal dan penggunaan jenis vaksinnya tunggal, yaitu vaksin asal China, Sinopharm, menimbulkan kesan bahwa vaksin gotong royong ini motifnya bisnis semata, everything about pharmacy business," ujar Direktur Eksekutif Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, Jumat (21/5).

Biofarma, BUMN ditugaskan untuk pengadaan vaksin Sinopharm, menjelaskan bahwa perbedaan vaksin gotong royong dan vaksin pemerintah yang lebih mahal disebabkan Biofarma melakukan impor vaksin jadi. Sementara, vaksin pemerintah, yakni Sinovac, diproduksi sendiri.

Achmad menegaskan bahwa Biofarma perlu menjelaskan detail harga dari impor vaksin jadi untuk vaksin gotong royong tersebut. Menurutnya, pemilihan jenis vaksin tertentu dari vaksin gotong royong juga menimbulkan persepsi publik bahwa vaksin gotong royong pada akhirnya memiliki motif bisnis. Di antaranya bisnis vaksin yang memberikan keuntungan kepada perusahaan-perusahaan farmasi dunia.

"Terlebih lagi kemampuan produksi vaksin hanya ada di beberapa negara tertentu," kata Achmad.

Achmad mempertanyakan mengapa pemerintah tidak memprioritaskan vaksin dalam negeri sendiri, contohnya vaksin merah putih. Padahal, ini menyangkut ketahanan dan kesehatan nasional. Menurutnya, optimalisasi vaksin inovasi anak negeri sendiri akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap perusahaan-perusahaan farmasi akan kebutuhan vaksin.

"Presiden Jokowi ingin vaksinasi selesai tahun 2021 ini, sementara vaksin inovasi anak negeri baru dapat muncul di pasaran pada awal 2022. Dengan begitu, vaksin inovasi anak negeri menjadi kurang bermakna bagi penghematan anggaran vaksin dan kepentingan nasional," kata Achmad.

Ia berharap Indonesia dapat memiliki vaksin inovasi sendiri dari laboratorium berbagai universitas di Indonesia yang lebih cepat sehingga pemerintah perlu memberikan dukungan kepada lembaga riset nasional agar vaksin inovasi mereka putih diedarkan publik lebih cepat sebelum 2021 berakhir.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement