REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Perokok anak menjadi perhatian pemerintah dan ahli kesehatan, pada peringatan hari tanpa tembakau sedunia di masa pandemi pada tahun ini. Menurut Andi Nafsiah Walinono Mboi, mantan menteri kesehatan Indonesia, saat ini jumlah perokok anak mencapai 9,5 persen dan akan terus meningkat jadi 15,95 persen pada 2030.
"Anak-anak kita itu nantinya akan jadi beban keluarga dan tentu menjadi beban negara yang harus mengeluarkan biaya kesehatan," kata Nafsiah dalam acara hari tanpa tembakau daring, pada Senin.
Hasbullah Thabrany, ketua komnas pengendalian tembakau, mengatakan konsumsi rokok masyarakat Indonesia selama pandemi masih tinggi. Tahun ini, kata dia, diperkirakan produksi rokok di Indonesia mencapai 250 miliar hingga 350 miliar batang dengan nilai hingga Rp 500 triliun.
"Selama pandemi, perokok tidak berkurang, mengganggu kesehatan dan ketahanan ekonomi kita," kata Thabrani, acara peringatan hari tanpa tembakau.
Sedangkan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan penyakit akibat rokok menjadi beban negara. "Biaya kesehatan yang dikeluarkan negara tidak sebanding dengan penerimaan cukai rokok," kata Budi dalam sambutan virtualnya.
Budi mengatakan saat ini Indonesia berada di peringkat ketiga dunia perokok terbesar perokok di atas 10 tahun setelah India dan China, rokok konvensional maupun elektrik.
Budi mengajak masyarakat untuk menghindari dan berhenti merokok apapun jenis rokoknya. "Merokok juga dapat meningkatkan potensi paparan Covid-19, " kata Budi.
Faktor anak-anak merokok
Program Manager Komnas Pengendalian Tembakau Nina Samidi menyesalkan mudahnya anak-anak untuk mengakses rokok. Nina mengatakan mudahnya akses ini memang menjadi salah satu faktor utama anak-anak merokok.
“Akses anak mulai mencoba rokok sangat mudah, yaitu harganya yang sangat murah, bisa dibeli di mana saja, dan anak-anak bisa beli langsung sendiri,” kata Nina kepada Anadolu Agency, pada Selasa.