Senin 14 Jun 2021 06:48 WIB

Sinyal Bahaya dari Kenaikan 50 Persen Kasus Aktif DKI

Kenaikan kasus di DKI sudah diiringi dengan kenaikan testing hingga 8 kali lipat.

Red: Indira Rezkisari
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberikan keterangan kepada media usai mengikuti apel bersama Penegakan Pendisiplinan PPKM Berskala Micro TA 2021 di Jakarta, Ahad (13/6/2021). Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, apel kesiapan tersebut dilakukan terkait dengan adanya penambahan kasus COVID-19 di Jakarta yang tinggi dalam satu pekan terakhir yaitu dari 11.500 kasus aktif pada 6 Juni lalu menjadi 17.400 kasus aktif per Ahad (13/6/2021).
Foto:

Kasus Covid-19 di Jakarta dan daerah sekitar ibu kota meningkat. Oleh karena itu, Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 dan pemerintah daerah (pemda) melakukan beberapa upaya, termasuk membuka Tower 8 Wisma Pademangan, Jakarta Utara, untuk pasien tanpa gejala (OTG) hingga menambah fasilitas tempat isolasi pasien.

"Untuk mengatasi peningkatan kasus, khususnya di DKI Jakarta dan daerah penyangga, pemerintah akan membuka Tower 8 di Pademangan untuk perawatan pasien OTG," kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) selaku Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Letjen TNI Ganip Warsito saat berbicara pada konferensi virtual BNPB bertema Kesiapan Antisipasi Lonjakan Kasus Pasca-Libur Lebaran, Ahad (13/6).

Ia menambahkan, saat ini tower tersebut ditempati tenaga kesehatan dan sesuai kebutuhan, maka nakes tersebut akan dipindahkan ke hotel terdekat. Apabila langkah ini telah dilakukan, dia melanjutkan, menambah 1.572 tempat tidur.

Kemudian, pada saat yang sama, dia melanjutkan, akan ada penambahan kapasitas per kamar di rumah sakit darurat Covid-19 Kemayoran, Jakarta Pusat, menjadi tiga tempat tidur dari sebelumnya hanya dua tempat tidur. Dengan demikian, penambahan kapasitas tempat tidur ini bisa menambah 2.000 tempat tidur di rumah sakit darurat Covid-19 (RSDC).

"Dengan demikian, kapasitas RSDC Kemayoran dapat meningkat dari kondisi sekarang sebanyak 5.994 tempat tidur menjadi 9.566 tempat tidur," katanya.

Tak hanya itu, dia melanjutkan, pihaknya bersama dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mulai mengoperasikan fasilitas isolasi terkendali bagi pasien tanpa gejala di rusun Nagrak, Cilincing, Jakarta Utara. Ia menyebutkan, fasilitas isolasi terkendali di Nagrak terdiri dari lima tower yang masing-masing  gedung terdiri atas 16 lantai sehingga nantinya bertambah 2.550 tempat tidur. Ia menambahkan, Satgas akan membantu mengisi kebutuhan velbed di rusun Nagrak secara bertahap.

"Saat ini sudah dikirimkan 900 velbed dan nanti akan kembali dilengkapi, sesuai dengan kapasitas tempat tidur yang ada di sana. Dengan demikian, RSDC akan memiliki kapasitas 12.116 tempat tidur," ujarnya

Ia menyebutkan, penambahan kasur ini sebanyak 6.120 tempat tidur atau sebesar 102 persen. Tak hanya Satgas, ia menyebutkan Pemprov DKI Jakarta juga menyiapkan tempat isolasi OTG milik Pemda DKI Jakarta ini, termasuk di Nagrak.

Kemudian, dia melanjutkan, tempat isolasi di daerah penyangga, seperti Bekasi, Depok, Bogor, dan Tangerang Selatan akan diaktifkan lagi. Ini dilakukan karena tambahan ruang isolasi untuk pasien OTG dibutuhkan. Kini, dia melanjutkan, pemda di daerah penyangga Jakarta masih terus berkoordinasi dengan Satgas.

Ahli epidemiolog FKM Universitas Indonesia, Pandu Riono, meminta pemerintah segera mengisolasi wilayah-wilayah yang disinyalir terdapat penularan Covid-19 parah. Ibarat kebakaran, kata Pandu, daerah seperti Kudus, Bangkalan, Bandung, dan wilayah lain yang terdapat penularan parah sudah terlanjur terbakar hebat. Tugas pemerintah adalah mencegah api merembet cepat ke daerah lain. Meski langkah pemerintah terbilang terlambat, kata dia, mencegah infeksi meluas tetap harus dilakukan.

"Masih banyak rumah-rumah lain yang belum 'kebakar'. Mencegah perluasan 'kebakaran', pertama, pada wilayah-wilayah yang beban kasus tinggi, kayak Kudus, Madura langsung isolasi. Langsung isolasi seminggu. Bukan karantina, isolasi saja," kata Pandu kepada Republika.co.id, Ahad (13/6).

Isolasi yang dimaksud Pandu adalah menutup pintu masuk ke daerah-daerah dengan kasus tinggi. Dengan demikian, tidak ada mobilitas warga yang keluar atau masuk dan berisiko membawa virus mutan Covid-19. Daerah yang jadi sasaran isolasi, kata dia, adalah daerah dengan tingkat keterisian rumah sakit 50 persen ke atas.

"Kalau virus mutannya keluar dari wilayah yang di situ makin banyak, ya luber lah ke seluruh Jawa Tengah, Jawa Timur. Makin sulit terkendali. Mumpung masih di satu wilayah, kerjakan di situ. Testing, lacak, isolasi, vaksinasi di situ selama seminggu kerja keras," kata Pandu.

Pandu sendiri menyesali kebijakan pemerintah yang terkesan tidak memahami konsep penanganan pandemi. Misalnya, kata dia, warga Kudus yang terkonfirmasi positif Covid-19 justru dirawat di fasilitas isolasi di Solo atau Semarang.

"Yang sakit malah dikirim ke luar, dirawat di Solo di Semarang. Ya sudah, virusnya ke mana-mana. Mereka ini tidak paham apa yang perlu dilakukan bahwa kita harus meng-containment, kita kurung supaya tidak lari keluar dari wilayah tertentu," ujar Pandu.

Pandu sendiri menyadari bahwa pemerintah selalu mempertimbangkan aspek ekonomi. Hanya saja, untuk saat ini lebih penting menyetop penularan agar pandemi terselesaikan secara tuntas secepat-cepatnya. Semakin cepat pandemi rampung, kata dia, maka semakin cepat pula ekonomi bisa kembali dipulihkan.

"Semakin cepat beres, semakin bisa dibereskan ekonominya. Bukan berarti ekonomi tidak dibereskan lho ya, tapi ditunda dulu supaya nanti, supaya jangan digerogoti lagi," kata Pandu.

Pandu melihat ada tiga faktor yang berkontribusi pada lonjakan kasus Covid-19 pasca-Lebaran. Pertama, adalah perilaku masyarakat yang memang sudah longgar dalam menjalankan protokol kesehatan. Terutama, tingginya pergerakan warga saat libur Lebaran.

"Tapi, tidak bisa kan hanya menyalahkan masyarakatnya. Karena, kebijakannya ada di pemerintah. Dan, kebijakannya tumpang-tindih. Tidak boleh ini, tapi boleh yang lain. Masyarakat jadi bingung. Kalau mau melarang, ya sekalian larang semua," ujar Pandu.

Faktor kedua, kata Pandu, adalah pemerintah yang sejak awal lambat dalam mengendalikan Covid-19. Dalam melihat lonjakan kasus di sebuah daerah misalnya. Menurut Pandu, sudah saatnya pemerintah menarik kesimpulan bahwa sebaran mutasi virus Covid-19 sudah luas tanpa perlu harus menunggu uji melalui whole genome sequencing.

"Ini seharusnya cepat dilihat, kok tiba-tiba di satu kota tinggi sekali angkanya. Banyak petugas nakes yang sudah divaksinasi kok banyak yang kena walau belum ada datanya, sudah harus berani ke arah sana. Jangan hanya bisa menunggu hasilnya," kata Pandu.

Sementara, faktor ketiga yang menyumbang lonjakan kasus Covid-19 adalah cakupan vaksinasi terhadap kelompok berisiko yang tingkatnya masih rendah. Kelompok berisiko yang dimaksud Pandu adalah tenaga kesehatan dan warga lansia. Pemerintah, ia menambahkan, justru terlampau fokus melakukan vaksinasi untuk kelompok yang tidak terlalu berisiko bila tertular Covid-19.

"Tapi, kan masih rendah banget. Yang divaksinasi itu kelompok-kelompok yang sebenarnya tidak butuh cepat. Masih bisa ditunda," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement