REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Pengadilan terhadap pemimpin Myanmar terpilih yang digulingkan militer, Aung San Suu Kyi, dimulai pada Senin (14/6). Persidangan digelar ketika junta militer Myanmar menolak kritik Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia atas penggunaan kekuatan mematikan terhadap pengunjuk rasa.
Suu Kyi akan diadili dengan tuduhan melanggar peraturan virus corona saat berkampanye untuk pemilihan umum pada November lalu. Dia juga menghadapi tuduhan karena memiliki walkie-talkie tanpa izin. Pengacara Suu Kyi mengatakan sidang pertama diperkirakan akan berlangsung hingga akhir Juli.
Suu Kyi juga menghadapi tuduhan lain yang lebih serius termasuk niat untuk menghasut, melanggar undang-undang rahasia resmi, dan tuduhan menerima suap senilai 600 ribu dolar AS dan emas senilai 11,4 kg dari mantan menteri utama Yangon. Tim hukumnya telah membantah tuduhan yang dilayangkan kepada Suu Kyi. Ketua tim pengacara Suu Kyi, Khin Maung Zaw, menyebut tuduhan korupsi terhadap kliennya tidak masuk akal.
Wakil Direktur Asia Human Rights Watch, Phil Robertson, menyebut tuduhan yang dihadapi Suu Kyi adalah palsu dan bermotif politik. "Tuduhan harus dibatalkan dan dia harus dibebaskan segera dan tanpa syarat," ujarnya.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak junta merebut kekuasaan pada 1 Februari dan menahan Suu Kyi serta politisi senior lainnya. Hal ini memicu protes harian serta pertempuran antara angkatan bersenjata dan pasukan gerilya etnis minoritas dan milisi.
Pendukung pro-demokrasi turun ke jalan-jalan di kota utama Yangon pada Senin. Mereka meneriakkan "perang revolusioner, kami berpartisipasi". Beberapa aktivis mengatakan mereka berencana untuk melakukan serangkaian pemogokan dan protes pada Senin bertepatan dengan hari ulang tahun Che Guevara, seorang revolusioner Amerika Latin yang menjadi ikon internasional setelah kematiannya.
Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, sedikitnya 862 orang telah meninggal dalam aksi protes sejak kudeta. Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet pada Jumat (11/6) mengatakan kekerasan di Myanmar telah meningkat. Dia mengutuk penggunaan senjata berat oleh tentara terhadap warga sipil.
Bachelet mengatakan junta tidak menunjukkan kesediaan untuk menerapkan konsensus lima poin yang disepakati dengan ASEAN pada April, untuk menghentikan kekerasan dan memulai dialog. Dalam siaran pers, Kementerian Luar Negeri Myanmar yang dipimpin junta menolak pernyataan Bachelet serta mempertanyakan keakuratan dan ketidakberpihakan laporan tersebut.
"Laporan itu tidak menyebutkan atau mengutuk tindakan sabotase dan terorisme yang dilakukan oleh asosiasi dan kelompok teroris yang melanggar hukum serta penderitaan dan kematian pasukan keamanan," kata Kementeriam Luar Negeri Myanmar.