Oleh : Ratna Puspita, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Lelah sekali hidup di Jakarta sekitar satu tahun tiga bulan ini. Pandemi Covid-19 sudah memaksa saya (dan mungkin Anda) harus bekerja dari rumah. Alhasil, rumah menjadi pusat aktivitas.
Selama lebih dari satu tahun ini tidak banyak opsi keluar rumah untuk mendapatkan (peng)hiburan seperti makan bersama teman atau karaoke atau menonton konser. Aktivitas makan bersama ada, tapi tidak sesering sebelum pandemi. Inilah normalnya kehidupan pandemi yang suka tidak suka, dan mau tidak mau harus diterima.
Beban kehidupan normal pandemi ini berkurang ketika kasus Covid-19 menurun seperti yang terjadi beberapa bulan belakangan. Berkurang karena saya tidak perlu merasa gugup membaca unggahan-unggahan pada media sosial dan berita-berita pada media massa yang mengabarkan kasus naik dan kematian.
Kabar-kabar kesedihan ini membawa hawa gelap yang kerap kali merenggut kegembiraan yang hinggap meski hanya sejenak pada hari-hari pandemi Covid-19 ini. Namun, kabar-kabar kesedihan itu tidak bisa dihindari.
Ketika menggulirkan lini massa Twitter, unggahan yang memuat kabar buruk terkait Covid-19 akan muncul. Pada suatu sore, seorang teman mengunggah doa agar semua anggota di grup tetap sehat. "Hari ini seorang temanku berpulang," kata si teman itu dalam pesan yang juga memuat doa.
Hampir setiap hari pula, saya membaca dan mengedit tulisan yang membawa kesedihan tentang Covid-19: angka Covid-19 naik, keterisian tempat tidur naik, dan petugas-petugas permakaman yang kelelahan.
Di tengah kabar-kabar kesedihan ini, isu-isu politik tetap berupaya untuk berebut perhatian. Salah satu isu yang berebut perhatian, yakni amendemen UUD 1945 untuk mengubah masa jabatan presiden selama dua periode alias 10 tahun.
Ini bukan pertama kali isu masa jabatan presiden tiga periode bergulir. Bahkan, selama pandemi Covid-19, ini merupakan isu yang kedua kali bergulir.
Pada awal tahun ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan dirinya tidak berniat menjadi presiden tiga periode. Hal sama pernah diungkapkannya setahun lalu. "Saya tegaskan saya tidak ada niat, tidak ada juga berminat menjadi presiden tiga periode," kata Jokowi dalam pernyataan persnya, 15 Maret 2021.
Namun, pernyataan Jokowi tetap tidak mengendurkan isu ini untuk tetap berembus dengan kencang. Seolah, ada pihak-pihak yang memang menginginkan isu ini terwujud menjadi kenyataan.
Masa jabatan presiden lebih dari dua periode adalah sesuatu yang sudah seharusnya ditolak. Masa jabatan presiden haruslah dibatasi agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan karena kekuasaan punya kencenderungan menjadi korup.
Masa jabatan dua periode juga merupakan masa jabatan yang ideal bagi presiden. Jika seseorang terpilih dua kali maka ia bisa menjadikan periode pertamanya untuk menata sistem dan menuai hasilnya pada periode kedua.
Selain itu, kepala pemerintahan seharusnya berupaya untuk menyelesaikan janji kampanye dan pekerjaannya pada satu periode. Karena itu, alasan seorang presiden membutuhkan waktu lebih lama dari dua periode untuk bekerja menjadi sesuatu yang sulit untuk diterima.
Hal yang juga tidak menyenangkan adalah isu ini muncul ketika kita semua seharusnya fokus pada penanganan Covid-19. Ketika masyarakat diminta untuk tidak abai pada Covid-19 dengan menegakkan protokol kesehatan, elite politik dan orang-orang di sekitarnya seharusnya juga berupaya untuk menjaga diri untuk tidak mengundang isu yang akan memunculkan debat publik.
Juga, jangan sampai menjadikan penganan pandemi Covid-19 sebagai alasan memperpanjang masa jabatan presiden.