REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo merasa tuntutan tim jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberikan kepadanya sangat berat. Hal tersebut disampaikan Edhy saat membacakan nota pembelaan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (9/7).
Dalam pleidoinya, Edhy menyatakan tuntutan Jaksa amat berat mengingat umurnya sudah menginjak 49 tahun. Ditambah, Edhy mengaku memiliki tiga anak yang masih membutuhkan pengasuhan.
"Saya sampaikan bahwa pada saat ini saya sudah berusia 49 tahun, usia dimana manusia sudah banyak berkurang kekuatannya untuk menanggung beban yang sangat berat," ucap Edhy saat membacakan pleidoi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (9/7).
"Ditambah lagi saat ini saya masih memiliki seorang istri yang sholehah dan tiga orang anak yang masih membutuhkan kasih sayang seorang ayah," tambahnya.
Diketahui, Jaksa KPK menuntut agar Edhy dijatuhi hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan. Tak hanya pidana badan, Edhy juga dituntut untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 9.687.447.219 dan 77 ribu dolar AS dikurangi seluruhnya dengan uang yang sudah dikembalikan.
"Sangat berat," ucap Edhy menanggapi tuntutan Jaksa.
Apalagi, lanjut Edhy, tuntutan tersebut didasarkan atas dakwaan yang sama sekali tidak benar dan fakta-fakta yang sangat lemah.
"Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan kali ini saya menyampaikan pembelaan saya atas dakwaan dan tuntutan yang disampaikan penuntut umum," kata Edhy.
Sebelumnya, JPU KPK menuntut agar Edhy dijatuhi hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan. Tak hanya pidana badan, Edhy juga dituntut untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 9.687.447.219 dan 77 ribu dollar AS dikurangi seluruhnya dengan uang yang sudah dikembalikan.
Edhy dinilai telah terbukti menerima suap Rp 25,7 miliar terkait izin ekspor benih bening lobster atau benur. Jaksa meyakini suap diberikan guna mempercepat proses persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor BBL kepada PT DPPP dan para eksportir benur lainnya.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) justru menilai tuntutan terhadap Edhy Prabowo telah menghina keadilan. "Benar-benar telah menghina rasa keadilan. Betapa tidak, tuntutan itu sama dengan tuntutan seorang kepala desa di Kabupaten Rokan Hilir Riau yang terbukti melakukan korupsi sebesar Rp 399 juta pada akhir 2017 lalu," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dalam pesan singkatnya, Rabu (30/6).
Padahal, kata Kurnia, melihat konstruksi pasal yang digunakan yakni Pasal 12 huruf a UU Tipikor, KPK sebenarnya dapat menuntut Edhy hingga seumur hidup penjara. Berangkat dari hal tersebut ICW mendesak agar majelis hakim mengabaikan tuntutan penjara dan denda yang diajukan oleh penuntut umum lalu menjatuhkan vonis maksimal, yakni seumur hidup penjara kepada Edhy Prabowo.
"Hal itu pun wajar, selain karena posisi Edhy sebagai pejabat publik, ia juga melakukan praktik korupsi di tengah pandemi Covid-19, " tegas Kurnia.
Kurnia menambahkan , dari tuntutan ini publik dapat melihat KPK di bawah komando Firli Bahuri memang terkesan enggan untuk bertindak keras kepada politisi. Sebab, sebelum Edhy, KPK diketahui juga pernah menuntut ringan Romahurmuzy yakni 4 tahun penjara pada awal tahun 2020 lalu.
"Ke depan ICW meyakini praktik ini akan terus berulang dan besar kemungkinan akan kembali terlihat dalam perkara bansos yang melibatkan Juliari P Batubara, " ujar Kurnia.