REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra mengatakan hyper regulation atau regulasi yang sangat banyak di Indonesia justru terjadi pada peraturan di bawah undang-undang (UU). Sebab faktanya, pembentuk undang-undang hanya menghasilkan sekitar belasan UU dalam kurun satu tahun.
"Mulai dari yang dibuat badan eksekutif, dari Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri sampai produk hukum yang dibuat di tingkat daerah," ujar Saldi dikutip website resmi MK, Ahad (11/7).
Dia juga menyebut banyak Peraturan Menteri diterima sebagai peraturan perundang-undangan dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Menurut Saldi, hyper regulation di Indonesia sebetulnya sangat sederhana untuk bisa diselesaikan. Karena sebenarnya Presiden mempunyai otoritas yang sangat kuat untuk mengelola peraturan.
Saldi menyontohkan negara Belanda yang sangat peduli dengan soal inkonstitusi peraturan hukum. Belanda memiliki sekitar 1.000 pekerja untuk menilai semua rancangan peraturan yang akan dikeluarkan untuk memudahkan Presiden mengambil tindakan bahwa peraturan di eksekutif harus dikeluarkan atau tidak.
Saldi juga mengatakan hyper regulation banyak terjadi pada produk-produk hukum daerah. Pemerintah pusat sebenarnya mempunyai kewenangan melakukan fungsi pengawasan preventif yang diberikan oleh undang-undang.
Pemerintah memiliki otoritas untuk menilai semua rancangan peraturan di daerah, baik peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah. Kalau tidak sesuai produk hukum yang berlaku secara nasional, pemerintah bisa mengatakan produk hukum tersebut tidak bisa diteruskan.
"Mahkamah Konstitusi dalam putusannya pernah menyatakan bahwa pemerintah pusat harus mengoptimalkan kewenangan dalam pengawasan preventif itu," kata Saldi.