Rabu 21 Jul 2021 10:36 WIB

Di Ujung PPKM Darurat, Kala Jokowi Akui Situasi Sangat Berat

Pemerintah berencana mengakhiri PPKM Darurat dan menerapkan pelonggaran pada 26 Juli.

Red: Andri Saubani
Spaduk berisi harapan kepada pemerintah agar ada kebijakan dan solusi untuk mengatasi masalah yang dihadapi para pedagang kecil seperti PKL di saat penerapan PPKM Darurat.
Foto:

Juru Bicara Pemerintah Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyampaikan, pengetatan tidak bisa dilakukan terus menerus karena memerlukan sumber daya yang sangat besar dan berdampak pada sektor ekonomi. Ia menyebut, pemerintah telah berusaha maksimal untuk mengendalikan lonjakan kasus yang tinggi ini dengan melakukan pengetatan mobilitas masyarakat, meningkatkan kapasitas rumah sakit, serta menyediakan obat-obatan dan alat kesehatan.

“Upaya-upaya ini tidak akan cukup dan pengetatan tidak bisa dilakukan secara terus menerus karena memerlukan sumber daya yang sangat besar dengan risiko korban jiwa yang terlalu tinggi, serta berdampak secara ekonomi. Tentunya pada suatu titik kita harus kembali melakukan relaksasi,” kata Wiku saat konferensi pers, Selasa (20/7).

Wiku menekankan, penanganan Covid-19 dapat berhasil dan efektif jika saat keputusan relaksasi diambil telah disiapkan dengan matang serta adanya komitmen dari seluruh unsur pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan kebijakan.

“Kedua hal ini menjadi kunci terlaksananya relaksasi yang efektif dan aman serta tidak memicu kasus kembali melonjak. Cara ini adalah cara yang paling murah dan mudah dan dapat terus dijalankan dengan berbagai penyesuaian pada kegiatan masyarakat,” tambah dia.

Meskipun begitu, Wiku menegaskan relaksasi kebijakan harus dilakukan dengan kehati-hatian. Berkaca pada kebijakan pengetatan dan relaksasi pemerintah yang telah dilakukan selama 1,5 tahun pandemi, langkah relaksasi yang tidak tepat dan tidak didukung oleh seluruh lapisan masyarakat dapat memicu kenaikan kasus yang lebih tinggi. Pemerintah sendiri telah melaksanakan tiga kali kebijakan pengetatan dan relaksasi.

“Dengan PPKM Darurat saat ini menjadi pengetatan yang keempat,” kata dia.

Mekanisme pengetatan rata-rata dilakukan selama 4-8 minggu dengan efek melandainya kasus atau penurunan kasus. Namun, saat relaksasi selama 13-20 minggu kasus kembali meningkat hingga 14 kali lipat.

 

 

 

Wiku mengatakan, pengetatan yang telah berjalan selama dua minggu ini telah menunjukkan dampaknya. Seperti mulai menurunnya angka keterisian rumah sakit (BOR) di provinsi di Pulau Jawa Bali serta penurunan mobilitas penduduk.

“Namun, penambahan kasus masih menjadi kendala yang kita hadapi. Hingga saat ini kasus masih mengalami peningkatan hingga dua kali lipat, dengan jumlah kasus aktif 542.938 atau 18,65 persen,” jelas Wiku.

Epidemiolog Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, menyatakan tak yakin, keadaan akan membaik selama lima hari ke depan atau pada masa perpanjangan PPKM Darurat. Menurut Tri, idealnya PPKM Darurat diperpanjang berpekan-pekan lagi seperti negara-negara lain.

“Kalau ingin menyelamatkan rakyat, harus melihat indikator pelayanan kesehatannya. Apakah saat ini sudah membaik? Sekarang masih banyak orang yang menderita Covid-19. Apakah kita akan membiarkan mereka tidak mendapat pelayanan? Saya sedih,” ujar Tri, Selasa.

Epidemiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Laura Navika Yamani, menilai selama masa perpanjangan PPKM Darurat yang singkat ini, pemerintah harus memiliki target yang jelas. Menurut dia, indikator yang terpenting bukan dari penurunan kasus harian melainkan dari positivity rate atau rasio kasus warga terpapar virus corona di Indonesia.

Sebab, positivity rate menggambarkan kemampuan jumlah pemeriksaan untuk menjaring dan menangkap kasus positif yang ada di masyarakat. Dia menilai dalam waktu lima hari, sangat sulit untuk menurunkan indikator positivity rate.

“Jadi kalau pun pemeriksaannya ditambah tapi indikator positivity rate naik, ini mengartikan jumlah pemeriksaan belum maksimal atau belum luas menjangkau di komunitas,” ucap dia.

Standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan angka positivity rate yang terkendali adalah kurang dari 5 persen. Sedangkan di Indonesia masih tinggi, yaitu 30,07 persen.

 

photo
Sejumlah negara larang masuk pelancong dari Indonesia menyusul lonjakan Covid. - (AP/Reuters/Anadolu)

Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَسِيْقَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اِلٰى جَهَنَّمَ زُمَرًا ۗحَتّٰىٓ اِذَا جَاۤءُوْهَا فُتِحَتْ اَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَآ اَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِّنْكُمْ يَتْلُوْنَ عَلَيْكُمْ اٰيٰتِ رَبِّكُمْ وَيُنْذِرُوْنَكُمْ لِقَاۤءَ يَوْمِكُمْ هٰذَا ۗقَالُوْا بَلٰى وَلٰكِنْ حَقَّتْ كَلِمَةُ الْعَذَابِ عَلَى الْكٰفِرِيْنَ
Orang-orang yang kafir digiring ke neraka Jahanam secara berombongan. Sehingga apabila mereka sampai kepadanya (neraka) pintu-pintunya dibukakan dan penjaga-penjaga berkata kepada mereka, “Apakah belum pernah datang kepadamu rasul-rasul dari kalangan kamu yang membacakan ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan (dengan) harimu ini?” Mereka menjawab, “Benar, ada,” tetapi ketetapan azab pasti berlaku terhadap orang-orang kafir.

(QS. Az-Zumar ayat 71)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement