REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) tidak melanjutkan laporan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan pimpinan KPK. Dewas menilai, laporan yang dilakukan pegawai KPK tak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) tidak memiliki cukup bukti untuk dilanjutkan ke sidang etik.
"Dewas secara musyawarah dan mufakat berkesimpulan seluruh dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku yang diduga dilakukan oleh pimpinan KPK sebagaimana disampaikan dalam surat pengaduan tidak cukup bukti sehingga tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke sidang etik," kata Ketua Dewas, Tumpak Hatorangan Panggabean di Jakarta, Jumat (23/7).
Tumpak mengatakan, Dewas telah mendalami setidaknya 42 bukti rekaman dan dokumen dalam pemeriksaan tersebut. Dewas juga telah memeriksa terlapor, pelapor, perwakilan Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kemenpan RB dan Kemenkum HAM.
Dia menegaskan, bahwa hasil pemeirksaan mereka tidak berkaitan dengan maladministrasi yang ditemukan Ombudsman. Lanjutnya, Dewas hanya bekerja untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, menegakkan kode etik dan melakukan evaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK.
"Kami tidak mencampuri putusan tersebut dan kami tidak tahu apakah pimpinan akan menindaklanjuti kami juga tidak tahu, itu terserah dipimpinan dan kami belum pernah baca putusannya," katanya.
Laporan terhadap pimpinan KPK menyangkut pasal sisipan mengenai pelaksanaan TWK ke dalam draf peraturan komisi (perkom) terkait tata cara alih status pegawai KPK menjadi ASN. Pimpinan juga dilaporkan tidak melakukan sosialisasi konsekuensi dari TWK.
Laporan juga memuat dugaan pelanggaran hak kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, hak bebas dari perlakuan diskiriminasi dan kekerasan gender. Pimpinan juga dilaporkan lantaran dugaan penggunaan TWK untuk memberhentikan pegawai tidak memenuhi syarat (TMS) berdasarkan TWK.
Pimpinan juga dilaporkan terkait penerbitan Surat Keputusan (SK) nomor 652 tahun 2021 tentang penyerahan tugas dan tanggungjawab pegawai TMS. SK dinilai bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 4 Mei 2021.
Sementara, hasil analisa Dewas tidak mendapati bahwa ada pasal sisipan dalam TWK yang dimasukan pada rapat tanggap 25 Januari 2021 lalu. Dewas menilai tidak ada pasal yang ditambahkan Ketua Firli Bahuri karena penyusunan perkom dirumuskan bersama dan disetujui secara kolektif kolegial.
Dewas juga tidak menemukan bukti bahwa pimpinan KPK tidak menginformasikan konsekuensi gagal dalam pelaksanaan TWK. Pasalnya, konsekuensi TWK memang tidak diatur dalam perkom nomor 1 tahun 2021 tentang tata cara alih status pegawai KPK menjadi ASN.
Dewas juga tidak menemukan adanya perbuatan dan tindakan pimpinan KPK yang membiarkan pelaksanaan asesmen yang dinilai melanggar kebebasan beragama, berekspresi serta ada diskriminasi. Dewas menimbang bahwa materi asesemn TWK disediakan oleh BKN bukan oleh pimpinan KPK.
"Setelah pelaksanaan TWK selesai, tidak ada pegawai yang menyatakan keberatannya mengenai materi pernyataan dalam tes," kata Anggota Dewas Syamsudin Haris saat membacakan analisa Dewas.
Dewas mengkau, juga tidak menemukan adanya dugaan bahwa pimpinan KPK sejak awal memiliki niat untuk memberhentikan pegawai TMS. Terkait SK 652, Dewas juga tidak menemukan adanya sikap pimpinan KPK yang tidak mengindahkan putusan MK terkait SK tersebut.
Sebelumnya, Ombudsman menemukan adanya cacat administrasi dalam seluruh proses pelaksanaan TWK. Ombudsman menemukan adanya penyimpangan prosedur dalam pelaksanaan tes yang menjadi penentu dalam peralihan status pegawai KPK menjadi ASN.
Hasil pemeriskaan terkait asasemen TWK berfokus pada tiga isu utama. Pertama, berkaitan dengan rangkaian proses pembentukan kebijakan peralihan pegawai KPK menjadi ASN.
Pemeriksaan kedua, berkaitan dengan proses pelaksanaan dari peralihan pegawai KPK menjadi ASN. Pemeriksaan ketiga adalah pada tahap penetapan hasil asasemen TWK.
"Tiga hal inilah yang oleh ombudsman ditemukan maladministrasi," kata Ketua Ombudsman Republik Indonesia, Mokhammad Najih.