REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Perdana Menteri Tunisia Hichem Mechichi diserang secara fisik di istana presiden pada Ahad (25/7) malam. Mechichi diserang sebelum dia setuju untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Sumber yang dekat dengan perdana menteri mengatakan kepada Middle East Eye bahwa, sifat cederanya tidak dapat diverifikasi karena Mechichi belum terlihat di depan umum sejak pengunduran dirinya. Namun sumber itu mengatakana, Mechichi mengalami luka di wajah.
"Dia mengalami luka di wajah, itulah sebabnya dia tidak muncul (di depan umum)," kata salah satu sumber.
Mechichi dipanggil ke istana presiden pada Ahad. Presiden Kais Saied kemudian mencopot Mechichi dari jabatannya, dan mengumumkan penangguhan parlemen serta mengambil alih otoritas eksekutif.
Menurut sumber tersebut, Mechichi dipanggil ke istana pada Ahad dan diminta untuk mundur sekali lagi. Ketika itu, Mechichi berulang kali menolak untuk mengundurkan diri. Mechichi dipukuli ketika menolak untuk mengundurkan diri.
Ketika Mechichi berada di istana presiden, terdapat seorang pejabat keamanan Mesir yang telah memberi nasihat kepada Saied. Tidak diketahui peran apa yang mereka mainkan dalam interogasi Mechichi.
"(Presiden Mesir Abdel Fattah el-) Sisi menawarkan untuk memberi Saied semua dukungan yang dia butuhkan untuk kudeta dan Saied mengambilnya," ujar salah satu sumber.
"Militer dan orang-orang keamanan Mesir dikirim ke Tunisia dengan dukungan penuh dari MbZ (Mohammed bin Zayed, putra mahkota Abu Dhabi)," kata sumber itu menambahkan.
Mechichi kemudian setuju untuk mengundurkan diri. Pada saat itu, kepala keamanannya juga menyetujui pernyataan presiden. Mechichi kemudian kembali ke rumahnya.
Tindakan yang dilakukan pada Ahad sesuai dengan rencana tindakan yang dibuat oleh penasihat dekat Saied pada Mei. Rencana tersebut menguraikan pembersihan atau gelombang penangkapan massal yang akan terjadi setelah pengumuman "kudeta konstitusional".
Dokumen itu mengatakan, Saied akan mendeklarasikan kediktatoran konstitusional yang merupakan alat untuk memusatkan semua kekuasaan di tangan presiden. Dokumen tersebut menguraikan target untuk pembersihan lawan politik dengan menempatkan tokoh-tokoh kunci di bawah tahanan rumah.