REPUBLIKA.CO.ID, WINA -- Perundingan kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) antara Iran dan kekuatan besar dunia masih mengalami kebuntuan. Israel dilaporkan bekerja sama dengan Amerika Serikat (AS) untuk mempersiapkan skenario bila Iran sepenuhnya keluar dari JCPOA.
Pada Kamis (12/8) kemarin media AS, Axios melaporkan seorang pejabat Israel mengatakan Perdana Menteri Israel Naftali Bennett membahas skenario tersebut dengan Direktur CIA Bill Burns. Laporan itu menyebutkan komunitas intelijen Israel khawatir bila Presiden Iran yang baru Ebrahim Raisi tidak bersedia mematuhi kembali kesepakatan JCPOA.
Sputnik News melaporkan pertemuan Bennett dan Burns pada Rabu (11/8) lalu bagian dari persiapan pertemuan antara Bennett dengan Presiden AS Joe Biden yang dijadwalkan pada bulan ini di Washington. Dalam pertemuannya dengan Bennett, Burns skeptis Iran bersedia kembali ke JCPOA.
"Penting bagi Perdana Menteri untuk mendapat kejelasan ketika kami mengatakan kami pikir kembali ke perjanjian nuklir 2015 adalah sebuah kesalahan, tidak berarti melanjutkan kebijakan pemerintah Netanyahu dan kami memiliki pendekatan yang berbeda," kata pejabat yang tak disebutkan namanya itu pada Axios.
Menteri Luar Negeri Israel Yair Lapid mengatakan Israel sudah membahas 'rencana B' dengan AS dan sekutu-sekutu Tel Aviv di Eropa. Lapid mengatakan ia tidak mendukung JCPOA.
"Namun saya tidak melihat rencana B (bila Iran tidak kembali ke perjanjian itu), di belakang layar kami sudah membicarakannya dengan AS dan sekutu-sekutu Eropa kami," katanya seperti dikutip Axios.
Israel konsisten mempertimbangkan klaim-klaim yang belum terbukti Iran berniat mengembangkan senjata nuklir. Januari lalu Kepala Angkatan Bersenjata Israel (IDF) Aviv Kochavi mengumumkan ia memerintahkan militer membuat rencana operasi baru untuk menggagalkan kemungkinan program senjata nuklir Iran.
Pada Februari, media Israel melaporkan pejabat militer dan pemerintah menggelar rapat untuk membahas anggaran rencana tersebut. Israel semakin khawatir dengan senjata nuklir Iran terutama setelah Ebrahim Raisi dilantik.
IDF dilaporkan semakin intensif meminta 'miliaran shekel' untuk persiapan menghadapi apa yang mereka klaim serangan nuklir dari Iran dan untuk meningkatkan serta mempertahankan kemampuan serangan IDF.