REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebulan sudah berlalu, dan Omar Tamimi (3 tahun) masih sering menanyakan kakaknya Muhammad Tamimi (17 tahun) kepada ibunya, Bara'a Tamimi. "Mama, mama, di mana Muhamad?" tanya Omar dengan nada gelisah kepada Bara'a.
Pertanyaan itu sesungguhnya mengguncang batin Bara'a. Dia berusaha membendung tangis yang siap meluncur dari matanya setiap Omar mengajukan pertanyaan demikian. Bulan lalu, Muhammad tewas setelah ditembak sebanyak tiga kali di bagian belakang oleh pasukan Israel.
Omar tak mengetahui bahwa kakaknya telah tiada. "Kami membawanya (Muhammad) ke rumah sakit, tapi dia meninggal kurang dari satu jam setelah dia ditembak," kata Bara'a yang tinggal di desa Nabi Saleh, dekat Ramallah, saat diwawancara Aljazirah, Selasa (24/8).
Nabi Saleh adalah rumah bagi sekitat 600 warga Palestina. Sebagian besar dari mereka bermarga Tamimi dan memiliki sejarah aktivisme. Muhammad tewas pada 23 Juli. Hari itu, tak ada kerusuhan atau bentrokan di Nabi Saleh.
Namun pasukan Israel datang ke sana dan memprovokasi penduduk setempat. "Muhammad berada di halaman belakang ketika tentara menembakkan gas air mata ke rumah kami, memaksa saya membawa anak-anak kecil lainnya ke kamar dalam rumah untuk keselamatan mereka," ungkap Bara'a saat mengenang kejadian pilu tersebut.
Muhammad sempat terlibat adu mulut dengan personel keamanan Israel. Setelah itu, Muhammad bergegas mencari saudaranya yang tak bisa melihat karena menderita kanker di salah satu matanya. "Beberapa saat kemudian saya mendengar tiga tembakan," ujar Bara'a.
Tak sampai sepekan berselang, tepatnya pada 28 Juli, Muhammad Abu Sara (11 tahun) turut tewas di tangan pasukan Israel. Dia meninggal setelah pasukan Israel menembakkan 13 peluru ke mobil ayahnya di desa Beit Ummar, Tepi Barat. Sama seperti di Nabi Saleh, penembakan di Beit Ummar dilakukan saat tak ada kejadian apa pun di desa tersebut.
Militer Israel berdalih bahwa penembakan terhadap mobil milik ayah Abu Sara dilakukan karena kendaraan itu menolak berhenti saat diperintahkan untuk melakukannya. Pekan ini, satu anak Palestina lainnya, yakni Imad Khaled Saleh Hashash juga terbunuh oleh pasukan Israel.
Hashash tertembak di bagian kepala saat pasukan Israel menyerbu kamp pengungsi Balata di Nablus, Tepi Barat. Dalam keterangannya pasukan Israel mengatakan, mereka menggeruduk kamp Balata untuk menangkap "seorang tersangka". Tak dijelaskan secara spesifik tentang siapa yang hendak ditahan.
Kelompok Defence for Children International-Palestine (DCIP) mengatakan, di bawah hukum internasional, kekuatan mematikan yang disengaja hanya dibenarkan dalam keadaan di mana ada ancaman langsung terhadap kehidupan atau cedera serius.
"Namun, penyelidikan dan bukti yang dikumpulkan oleh DCIP secara teratur menunjukkan bahwa pasukan Israel menggunakan kekuatan terhadap anak-anak Palestina dalam keadaan yang mungkin merupakan pembunuhan di luar proses hukum atau disengaja," kata DCIP.
Menurut Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR), terdapat 12 anak Palestina di Tepi Barat yang terbunuh oleh pasukan Israel sepanjang tahun ini. Sementara 67 anak lainnya tewas di Jalur Gaza saat Israel melancarkan agresi pada Mei lalu.
DCIP menyebut, tahun lalu terdapat tujuh anak Palestina yang tewas di Tepi Barat dan Gaza. Meningkatnya angka kematian akibat tindakan kekerasan, termasuk penggerebakan yang dilakukan pasukan Israel terhadap kantor DCIP, mendorong para pakar di OHCHR, mengontak pemerintahan Zionis.
Mereka meminta Israel segera mengembalikan dokumen rahasia dan peralatan kantor milik DCIP yang disita pasukannya. "Kami sangat prihatin dengan campur tangan militer Israel dengan pekerjaan hak asasi manusia dari sebuah organisasi non-pemerintah yang terkenal dan dihormati," kata para ahli OHCHR.
Menurut OHCHR, kerja-kerja yang dilakukan organisasi seperti DCIP sangat penting. Sebab mereka memberikan ukuran akuntabilitas yang sangat dibutuhkan dalam mendokumentasikan serta meneliti tren hak asasi manusia yang memprihatinkan di wilayah Palestina.
OHCHR menyebut, DCIP memberikan pelaporan kritis dan dapat diandalkan tentang pola penangkapan, pemfitnahan, dan pembunuhan anak-anak Palestina oleh pasukan Israel, baik di Tepi Barat maupun Jalur Gaza.
"Semua kehidupan sipil di bawah pendudukan dilindungi oleh hukum internasional. Ini terutama berlaku untuk anak-anak," kata OHCHR.