REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) meminta, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar mengundurkan diri. Hal tersebut menyusul pelanggaran kode etik yang dilakukan Lili setelah berkomunikasi dengan terdakwa Wali Kota Tanjung Balai non aktif, M Syahrial.
"Pengunduran diri Lili Pintauli Siregar adalah menjaga kehormatan KPK karena jika tidak mundur maka cacat/noda akibat perbuatannya yang akan selalu menyandera KPK," kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman di Jakarta, Senin (30/8).
Dia mengatakan, cacat tersebut akan membuat KPK kesulitan melakukan pemberantasan korupsi. Dia melanjutkan, pengunduran diri itu demi kebaikan lembaga antirasuah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Putusan Dewas KPK dirasakan belum memenuhi rasa keadilan masyarakat karena semestinya sanksinya adalah permintaan mengundurkan diri atau bahasa awamnya: pemecatan," kata Boyamin lagi.
Kendati, MAKI mengaku, menghormati keputusan Dewas KPK yang memberikan hukuman berat terhadap Lili Pintauli Siregar. MAKI menilai, bahwa putusan itu sebagai sebuah proses yang telah dijalankan berdasar Undang Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Revisi UU KPK.
Dewas menjatuhkan hukuman berat berupa pemotongan 40 persen dari gaji pokok yang diterima Lili Pintauli Siregar atas pelanggaran etik tersebut. Lili dinyatakan melanggar kode etik dan pedoman perilaku lantaran berhubungan dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani KPK.
Berdasarkan informasi yang diterima Republika, gaji pokok wakil Ketua KPK berdasarkan PP Nomor 82 tahun 2015 adalah Rp 4.620.000 perbulan. Artinya, nilai potongan 40 persen dari gaji pokok Lili adalah Rp 1.848.000 perbulan dari //take home pay// pimpinan sekitar Rp 89.459.000 juta perbulan.
Dewas menilai, Lili telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku berupa penyalahgunaan pengaruh pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi. Dia berhubungan langsung dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani KPK yang diatur dalam Pasal 4 Ayat 2 Huruf b serta Peraturan Dewas Nomor 2 Tahun 2020.
Dalam menjatuhkan putusan, Dewas KPK menimbang bahwa ada dua hal yang memberatkan Lili sehingga ia dijatuhi hukuman berat. Dewas menyebut Lili tidak menunjukkan penyesalan atas perbuatannya dan tidak memberikan contoh dan teladan sebagai Pimpinan KPK dalam melaksanakan IS.
Sementara hal yang meringankan adalah Lili mengakui perbuatannya dan belum pernah dijatuhi sanksi etik. Putusan terhadap Lili dibacakan dalam sidang putusan kode etik. Keputusan ini diambil dalam Permusyawaratan Majelis pada Kamis (26/8) lalu dengan Tumpak Hatorangan Panggabean selaku ketua, Albertina Ho dan Harjono sebagai anggota majelis.