REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, menyatakan partisipasi semua elemen bangsa harus dibuka seluas-luasnya sebagai dasar pengambilan keputusan untuk merespons wacana amendemen Undang-Undang Dasar 1945 yang berkembang saat ini.
"Perlu pertimbangan dari segala aspek dan tata kelola aturan bernegara sebelum memutuskan untuk melakukan amendemen UUD 1945, karena itu perlu masukan dari publik," kata dia saat membuka diskusi daring bertema Urgensi Amandemen UUD 1945 di Masa Pandemi yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (1/9).
Jangan sampai, menurut Lestari, proses amendemen UUD 1945 menjadi bola liar yang berpotensi merusak tujuan awal amendemen itu sendiri.
Bahkan, tambah Rerie, sapaan akrab Lestari, pengkajian amendemen yang melebar itu berpotensi memicu silang sengketa yang malah meciptakan masalah baru bagi bangsa.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berharap, sebaiknya energi yang kita miliki saat ini digunakan sebaik-baiknya untuk mengatasi masalah yang benar-benar dihadapi oleh masyarakat.
Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI, Atang Irawan menegaskan, amendemen bukan merupakan hal yang tabu di negeri ini. Namun, jelasnya, langkah-langkah amendemen itu harus diletakkan pada pondasi konstitusional.
Baca juga : Amendemen UUD, Nasdem: Presiden Jadi Mandataris MPR?
Wacana amendemen terbatas terhadap UUD 1945, jelas Atang, sesungguhnya tidak dikenal dalam sistem konstitusi kita. Karena, tegasnya, pasal dalam konstitusi itu saling berkaitan satu sama lain.
Menurut Direktur Pusat Studi Konstitusi, Feri Amsari, amendemen UUD 1945 adalah sebuah keniscayaan. "Namun, apakah setiap dinamika yang terjadi dalam kehidupan bernegara harus direspons dengan mengamendemen UUD?," ujarnya.
Untuk mengamendemen UUD 1945, tambahnya, harus dilihat indikator-indikator apa saja yang mendorong amendemen tersebut.
Salah satu alasan wacana amendemen UUD 1945 saat ini, ujar Feri, adalah diperlukannya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) demi keberlanjutan proses pembangunan nasional.
"Tetapi apakah bisa dijamin bila ada PPHN pembangunan nasional bisa berkelanjutan? Kenyataannya dengan menggunakan GBHN di masa lalu pun pembangunan di masa Orde Lama dan Orde Baru tidak berkelanjutan," ujarnya.
Sesungguhnya, menurut Feri, pola pembangunan mirip GBHN sudah diadaptasi lewat pemberlakuan UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Feri memperkirakan, tidak berkelanjutannya proses pembangunan dewasa ini lebih karena lebih mengemukanya kepentingan politik kelompok tertentu pada setiap periode pemerintahan.