REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Presiden Palestina Mahmoud Abbas menuduh Israel menghancurkan solusi dua negara, Jumat (24/9). Berbicara di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB) melalui tautan video dari Tepi Barat, Abbas mendesak negara-negara untuk bertindak menyelamatkan formula dua negara. Konsep ini selama beberapa dekade telah menjadi landasan diplomasi untuk konflik Israel-Palestina.
Abbas menyatakan Israel memberlakukan apartheid pada warga Palestina. "Keadaan di lapangan pasti akan memaksakan hak politik yang sama dan penuh untuk semua di tanah Palestina yang bersejarah, dalam satu negara. Dalam semua kasus, Israel harus memilih," kata Abbas.
Menurut Abbas, Israel menghancurkan prospek penyelesaian politik berdasarkan solusi dua negara melalui permukimannya di tanah Tepi Barat yang direbutnya di Timur Tengah 1967. Sebagian besar negara memandang permukiman itu ilegal, posisi yang disengketakan Israel.
Presiden Palestina ini mengancam akan mencabut pengakuan negaranya atas Israel jika tidak menarik diri dari Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur dalam waktu satu tahun. "Jika ini tidak tercapai, mengapa mempertahankan pengakuan Israel berdasarkan perbatasan 1967? Mengapa mempertahankan pengakuan ini?" tanyanya.
Duta Besar Israel untuk Amerika Serikat Gilad Erdan mengecam komentar Abbas. Dia menuduh Palestina menolak perdamaian dengan Israel. "Pidato Abu Mazen (Abbas) penuh dengan kebohongan. Mereka yang benar-benar mendukung perdamaian dan negosiasi tidak mengancam ultimatum delusi," ujar Erdan.
Melalui perjanjian perdamaian sementara dengan Israel, Otoritas Palestina Abbas dimaksudkan untuk melakukan pengaturan di Gaza juga. Namun Hamas merebut daerah kantong itu pada 2007 dan pembicaraan yang terputus-putus selama bertahun-tahun gagal memecahkan kebuntuan mereka.
Perdana Menteri Israel Naftali Bennett akan berpidato di majelis pada Senin (27/9). Dia menentang kenegaraan Palestina tetapi pemerintahnya telah berjanji untuk menghindari keputusan sensitif terhadap Palestina dan sebaliknya fokus pada masalah ekonomi.