REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) Arif Nur Fikri menanggapi wacana pemerintah yang membuka penunjukan TNI-Polri sebagai penjabat kepala daerah jelang Pilkada Serentak 2024. Menurutnya, hal tersebut bisa menimbulkan konflik kepentingan dan nantinya TNI-Polri terlalu banyak mencampuri urusan sipil.
"Selain potensi konflik kepentingan, hal ini juga jelas tidak sesuai dengan tupoksi TNI/Polri itu sendiri. Salah satu alasan dulu dihapusnya Dwi Fungsi ABRI karena ABRI ketika itu lebih banyak terlibat mengurusi ranah-ranah sipil ketimbang tupoksinya," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Sabtu (25/9).
Kemudian, ia melanjutkan jika merujuk pada aturan peundang-undangan baik itu UU TNI atau Polri, jelas harus mengundurkan diri atau pensiun terlebih dahulu. Sebab, berdasarkan UU ASN jelas diatur terkait siapa yang dapat mengisi Pelaksana tugas ketika terjadi kekosongan pemerintah di tingkat daerah.
Selain itu perlu diingat juga aturan terkait jabatan-jabatan apa saja yang dapat diisi TNI/Polri. "Perlu diingat juga Ombudsman tahun 2018/2019 juga telah mengeluarkan laporan terkait dengan rangkap jabatan, dimana dari hasil temuan Ombudsman tersebut berpotensi adanya pelanggaran malaadministrasi, saya kira baik itu UU dan hasil laporan Ombudsman bisa menjadi pertimbangan pemerintah terkait wacana ini," kata dia.
Ia menambahkan akan lebih relevan ketika pemerintah mengutamakan ASN untuk mengisi plt gubernur. Namun, jika acuannya situasi di wilayah tertentu yang mengharuskan TNI/Polri mengisi jabatan Plt.
"Saya kira pemerintah harus menjelaskan situasinya dengan mengacu ke UU keadaan bahaya, sehingga tidak hanya berdasarkan tafsir dari pemerintah saja, namun prosesnya tersebut dilakukan secara transparan dan diawasi oleh lembaga-lembaga pengawas seperti DPR maupun pengawas eksternal," kata dia.