REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menggelar pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas dalam kondisi laju penularan kasus yang belum di bawah lima persen dan lemahnya kepatuhan dalam penerapan protokol kesehatan (prokes) dinilai merupakan suatu keputusan yang riskan bagi anak-anak Indonesia. Padahal, hak pendidikan anak bisa diletakkan ke nomor tiga setelah hak hidup anak dan hak sehat anak.
"Hak hidup anak adalah nomor satu. Yang nomor dua adalah hak sehat anak sedangkan hak pendidikan anak bisa ditaruh di nomor tiga. Argumentasinya adalah, jika anak sehat dan tetap hidup maka semua ketertinggalan pelajaran masih dapat dikejar," kata Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, saat dikonfirmasi, Senin (27/9).
Menurut Retno, KPAI kerap menemukan pelanggaran prokes saat melakukan pengawasan langsung terhadap PTM terbatas ke berbagai sekolah di sejumlah daerah. Berbagai pelanggaran prokes ditemukan yang terkait dengan 3M, yakni masker yang diletakan di dagu, masker yang digantungkan di leher, serta tempat cuci tangan yang tidak disertai air mengalir dan sabun.
Untuk itu, KPAI memberikan sejumlah rekomendasi kepada sejumlah pihak terkait. Pertama, KPAI meminta pemerintah memastikan sekolah sudah memenuhi segala syarat dan kebutuhan penyelenggaraan PTM, termasuk memastikan protokol kesehatan dapat terpenuhi. Jika belum, maka pemerintah daerah harus membantu pemenuhannya, terutama untuk sekolah yang miskin dan sedikit peserta didiknya.
Kemudian, pemerintah pusat wajib melakukan percepatan vaksinasi kepada peserta didik pada rentang usia 12-17 tahun. Retno mengatakan, tingkat vaksinasi harus mencapai minimal 70 persen dari populasi di sekolah agar terbentuk kekebalan kelompok. Kalau hanya guru yang divaksinasi, maka kekebalan komunitas belum terbentuk, karena jumlah guru hanya sekitar 10 persen dari jumlah siswa.
"Selain itu, pemerintah pusat harus memastikan penyediaan vaksin untuk anak merata di seluruh Indonesia. Survei singkat KPAI pada Agustus lalu menemukan bahwa vaksinasi anak didominasi oleh Pulau Jawa dan itupun hanya menyasar anak-anak di perkotaan," kata Retno.
Lalu, KPAI meminta pemerintah daerah untuk jujur dengan angka penularan kasus Covid-19 di daerahnya. Sesuai ketentuan WHO, situasi yang aman untuk membuka sekolah tatap muka adalah ketika laju penularan kasus berada di bawah lima persen. Karena itu, pemerintah perlu meningkatkan testing, tracing, treatment (3T), bukan malah menguranginya sehingga menghasilkan laju penularan kasus yang rendah.
"Karena angka penularan kasus itu diperoleh dengan membagi total kasus positif dengan jumlah orang yang dites dan dikalikan 100," jelas dia.
Sekolah juga KAPI sebut perlu untuk melakukan pemetaan materi untuk setiap mata pelajaran karena mengingat PJJ dan PTM dilaksanakan secara beriringan. Materi yang mudah dan sedang diberikan di PJJ dengan bantuan modul, sedangkan materi yang sulit disampaikan saat PTM agar ada interaksi dan dialog langsung antara guru dan siswa.
"Hal ini juga bagian dari upaya membantu anak-anak memahami materi yang sulit dan sangat sulit sehingga mengurangi stress peserta didik," ujar Retno.
Para guru dan orang tua juga tak luput dari perhatian KPAI. Mereka harus mengedukasi dan menjadi panutan perubahan perilaku anak-anak dalam melaksanakan protokol kesehatan 3M, yakni memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Menurut Retno, PTM di masa pandemi sangat berbeda dengan PTM sebelum pandemi.
"Berdasarkan pemantauan langsung KPAI di sejumlah sekolah di beberapa daerah, pelanggaran PTM terbanyak adalah pada penggunaan masker yang salah. Bahkan ditemukan guru dan siswa yang tidak memakai maskernya," jelas dia.