Jumat 01 Oct 2021 15:11 WIB

Utang 'Hantu' 165 Negara ke China Senilai 365 Miliar Dolar

Proyek kereta China-Laos yang didanai utang tak resmi senilai 5,9 miliar dolar AS

Rep: Lintar Satria/ Red: Teguh Firmansyah
Presiden China Xi Jinping.
Foto:

13 ribu proyek

AIdData memeriksa lebih dari 13 ribu proyek BRI senilai sedikitnya 843 miliar dolar di 165 negara dari tahun 2000 hingga 2017.

Mereka menemukan pinjaman China yang sebelum BRI lebih banyak dari negara ke negara. Kini hampir 70 persen pinjaman itu dilakukan dengan perusahaan milik pemerintah, dengan bank, joint ventures, institusi swasta dan wahana tujuan khusus (SPVs) Cina.

Hal ini mendorong banyaknya utang yang tidak dilaporkan nilainya mencapai 385 miliar dolar AS. Sebab sebagian besar pemberi pinjaman bukan pemerintah pusat yang syarat laporannya lebih ketat.

"Sebagian besar utang ini tidak tampak dalam neraca pemerintah LMIC, tetapi sebagian besar dari mereka mendapatkan manfaat baik eksplisit maupun implisit dari perlindungan pemerintah tuan rumah yang mengaburkan antara utang swasta dan publik dan memberi tantangan besar pada pengelolaan finansial publik," kata AidData.

AidData mengatakan organisasi global seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund menyadari masalah ini, tapi laporan mereka memberi peringatan mengenai skalanya. Sejak awal BRI memang kontroversial dan kini beberapa pemerintah membatalkan proyek-proyek tersebut.

Beberapa tahun terakhir pinjaman BRI mulai melambat tapi utang-utang yang diberikan sebelumnya masih bertahan. Pada 2019 lalu Xi berjanji meningkatkan transparansi dan stabilitas finansial pada program ini dan 'sama sekali tidak menoleransi korupsi'.

Lebih dari 100 negara telah menandatangani BRI yang sudah lama dinilai tidak transparan. Besarnya utang pada negara-negara berisiko tinggi memungkinkan 'diplomasi buku utang' di beberapa negara sehingga mereka terpaksa menyerahkan aset ke Beijing karena tidak bisa membayarnya.

AidData menegaskan penyitaan aset pemerintah untuk membayar utang yang tak terbayarkan hanya bisa dilakukan bila pinjaman antara pemerintah. Tapi kini semakin banyak pinjaman diberikan melalui SPV dan mekanisme semi-swasta lain.

Baca juga : Bakal Buyback Saham, Adaro Siapkan Dana Rp4 Triliun

Utang dibayar melalui pendapatan yang diambil dari proyek yang didanai dari pinjaman. Perubahan ini menambah resiko pengambil pinjaman Cina.

"Banyak pemerintah negara miskin tidak bisa mengambil lebih banyak pinjaman, jadi (China) harus kreatif," kata direktur eksekutif AidData Brad Parks.

Peneliti lembaga think tank Lowy Institute Peter Cai mengatakan sulit untuk menagih utang terutama di negara yang dilanda kerusuhan atau dikelola dengan buruk. "Selalu ada masalah dalam penagihan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement