Senin 11 Oct 2021 16:41 WIB

Ibadah Yahudi di Al Aqsa dan Penggusuran Kuburan Muslim

Pengadilan Israel sempat membolehkan umat Yahudi beribadah di Kompleks Al Aqsa.

Kompleks Masjid Al Aqsa di Yerusalem. (ilustrasi)
Foto: EPA/Atef Safadi
Kompleks Masjid Al Aqsa di Yerusalem. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Jaramaya, Mabruroh, Ratna Ajeng Tejomukti, Kamran Dikrama

Pada 6 Oktober 2021 lalu, Pengadilan Magistrat Israel memutuskan untuk mendukung orang-orang Yahudi yang berdoa di kompleks Masjid Al Aqsa. Putusan itu merujuk pada permohonan Aryeh Lipo yang berdoa di Temple Mount, yang terletak di Masjid Al Aqsa selama peringatan Yom Kippur.

Baca Juga

Ketika itu polisi meminta Lipo untuk berhenti melakukan ibadah. Polisi kemudian mengeluarkan perintah bahwa Lipo dilarang memasuki komplek Masjid Al Aqsa selama 15 hari.

Setelah menyaksikan rekaman kejadian tersebut, Hakim Bilha Yahalom memutuskan bahwa perilaku pemohon tidak melanggar hukum atau instruksi polisi di Temple Mount. Hakim berpendapat, Lipo berdoa tanpa kerumunan dan dilakukan secara diam-diam serta tidak terlihat oleh publik.  

Putusan pengadilan Israel jelas melenceng dari kesepakatan lama, yaitu umat Islam beribadah di Al Aqsa sementara orang Yahudi beribadah di Tembok Barat di sekitar kompleks Masjid Al Aqsa.

Putusan pengadilan itu muncul setelah seorang pemukim Israel, Rabi Aryeh Lippo, meminta pengadilan mencabut perintah larangan sementara untuk memasuki kompleks Masjid Al Aqsa. Polisi Israel menerbitkan surat larangan kepada Lippo, karena dia melaksanakan ibadah di kompleks Masjid Al Aqsa.

Putusan Pengadilan Magistrat Israel itu pun langsung direspons Perdana Menteri Palestina Mohammad Ibrahim Shtayyeh dengan meminta Amerika Serikat (AS) untuk memenuhi janjinya dalam mempertahankan status quo kompleks Masjid Al Aqsa. Shtayyeh juga menyerukan kepada negara-negara Arab untuk berdiri dalam solidaritas dengan Palestina.

"Kami memberikan peringatkan kepada Israel atas upaya untuk memaksakan realitas baru di Masjid Suci Al Aqsa," kata Shtayyeh, dilansir Aljazirah, Jumat (8/10).

Yordania, menyebut keputusan itu sebagai pelanggaran serius terhadap status historis dan status hukum Masjid Al Aqsa. Yordania memiliki peran sebagai penjaga Al Aqsa yang diakui dalam perjanjian damai 1994 antara Amman dan Israel.

Sorang pengacara dan ahli hukum di Yerusalem, Khaled Zabarqa,  mengatakan, sistem peradilan Israel tidak memiliki yurisdiksi hukum untuk mengatur Masjid Al Aqsa dan untuk mengubah status quo. Dari sudut pandang hukum, keputusan itu batal.

Pada 8 Oktober 2021, vonis Pengadilan Magistrat dibatalkan oleh Pengadilan Israel. Dilansir dari Middle East Monitor, Ahad (10/10), pengumumkan keputusan Pengadilan Magistrat yang mengizinkan orang-orang Yahudi melakukan doa di Masjid Al Aqsa, bertentangan dengan instruksi polisi. Putusan tersebut memicu situasi di wilayah Palestina dan menyebabkan banyak ketegangan di antara Otoritas Palestina dan kepemimpinan Yordania.

Faksi-faksi Palestina memperingatkan bahwa: "Agresi Israel seperti itu terhadap situs-situs suci Palestina dan Muslim pasti akan memicu gelombang pertempuran untuk melindungi Masjid Al Aqsa."

Hingga kemudian polisi Israel mengajukan banding atas keputusan Pengadilan Magistrate yang mengizinkan umat Yahudi melakukan salat di Masjid Al Aqsa secara hening. Pengadilan Israel memutuskan untuk menegakkan kembali larangan umat Yahudi berdoa di dalam kompleks masjid Al Aqsa.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement