REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56/2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik berpotensi memicu persoalan baru. Pembentukan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang menjadi amanat PP 56/2021 dinilai tumpang tindih dan merugikan pekerja kreatif di Tanah Air.
“Kami tentu prihatin dengan perkembangan baru terkait pengelolaan royalti lagu dan musik di Tanah Air. PP 56/2021 yang kita harapkan jadi payung hukum yang menegakkan hak-hak pekerja kreatif di industri musik kini malah melahirkan bibit sengketa yang malah merugikan para musisi dan pencipta lagu,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda dalam keterangannya, Rabu (3/11).
Dia menjelaskan, lahirnya PP 56/2021 tentang pengelolaan hak cipta lagu dan musik memang memberikan harapan baru bagi perlindungan hak kekayaan intelektual, dari musisi serta pencipta lagu. Dalam PP tersebut jelas disebutkan kewajiban bagi semua pihak yang menggunakan lagu dan musi sebagai layanan publik bersifat komersial harus membayarkan royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait.
“Dalam PP tersebut bahkan disebutkan jenis-jenis layanan publik bersifat komersil yang harus membayar royalti. Tentu ini memunculkan euforia bagi pemilik hak cipta yang selama ini kerap dirugikan karena begitu brutalnya pelanggaran hak cipta di Tanah Air,” katanya.
Dalam perkembangannya, kata Huda, PP 56/2021 ternyata memunculkan masalah baru. Hal ini seiring pembentukan LMKN yang menjadi amanat PP 56/2021. LMKN diberikan otoritas menarik royalti untuk kepentingan pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait yang telah menjadi anggota maupun yang belum menjadi anggota suatu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
“Fungsi penarikan royalti ini sebelumnya dilakukan oleh LMK bentukan para musisi maupun pencipta lagu yang bersifat independen. Dengan adanya LMKN yang dibentuk oleh pemerintah melalui Kemenkumham maka terjadi sentralisasi kewenangan yang justru rentan memicu polemik baru,” katanya.
Huda menilai, hampir pasti benturan kepentingan antara LMKN dan LMK akan terjadi karena adanya aturan 20 persen dari besaran royalti yang dikumpulkan dari publik digunakan untuk pembiayaan manajemen kolektif. Menurutnya, 20 persen bagian dari royalti ini cukup besar. Sebagai gambaran, jika ada Rp 100 miliar yang bisa dikumpulkan, maka berarti ada Rp 20 miliar yang harus disisihkan untuk manajemen kolektif.
“Besaran bagian untuk menajamen kolektif ini pasti akan potensial memicu konflik kepentingan. Apalagi jika ada dua entitas yang mempunyai peran mirip dalam hal ini LMKN dan LMK,” katanya.
Apalagi dalam perkembangan terbaru, kata Huda, LMKN bekerja sama dengan pihak ketiga untuk menjalakan fungsi pengumpul royalti dari publik. Tentu situasi ini akan kian memperpanjang belitan kepentingan karena potensi konflik akan kian melebar.
“Keputusan LMKN dalam mengandeng PT Lentara Abadi Solutama (LAS) kian meruncing konflik kepentingan dalam sengkarut penarikan royalti lagu dan atau musik di Indonesia,” katanya.
Politikus PKB ini mendesak agar Presiden Joko Widodo turun tangan dalam mengatasi polemik sengkarut penarikan royalti lagu dan atau musik ini. Menurutnya, sudah lama pekerja kreatif di industri musik yang mengharapkan perlindungan dan penghormatan atas kekayaan intelektual mereka.
“Presiden Jokowi sudah beritikad baik dengan mengeluarkan PP 56/2021 untuk melindungi dan menghormati kekayaan intelektual para musisi dan pencipta lagu. Jangan sampai itikad ini kemudian terganjal oleh konflik kepentingan di mana pemerintah menjadi bagian dari konflik tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung,” ujar Huda.