Senin 08 Nov 2021 00:30 WIB

ICW: Pembatalan PP Pengetatan Remisi Berkah Bagi Koruptor

Kini sinyal pelemahan pemberantasan korupsi semakin jelas.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Andi Nur Aminah
Peneliti Iindonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana
Foto: Republika/Prayogi
Peneliti Iindonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemberantasan korupsi di Indonesia belakangan ini dinilai banyak pihak berada pada titik nadir, sebagian secara ekstrim menyatakan telah mati. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator yang membuat lembaga antirasuah KPK dan proses hukum pemberantasan korupsi semakin lemah.

Indonesia Corription Watch (ICW) memaparkan beberapa indikator. Di antaranya rendahnya komitmen Presiden untuk melindungi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara kelembagaan ketika terjadi revisi UU KPK. Kemudian sikap bergeming Presiden Jokowi atas rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM yang menyatakan tes wawasan kebangsaan (TWK) mengandung maladministrasi dan melanggar hak asasi manusia.

Baca Juga

"Kini sinyal pelemahan pemberantasan korupsi semakin jelas ketika Mahkamah Agung (MA) mencabut Peraturan Pemerintah (PP) No 99 tahun 2012 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan yang mengatur pengetatan pemberian remisi bagi warga binaan khususnya pelaku tindak pidana korupsi, terorisme, narkoba dan kejahatan transnasional lainnya," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan persnya, Ahad (7/11).

Pada konteks korupsi urgensi keberadaan PP pengetatan remisi dilatarbelakangi berbagai faktor, salah satunya, lemahnya sistem hukum Indonesia yang belum mengatur perampasan asset hasil korupsi. Akibatnya, menurut ICW, muncul efek berantai, dimana koruptor yang masih memiliki harta berlimpah kemudian menghadirkan mafia hukum.

"Tujuannya agar bisa mendapatkan putusan ringan, menghuni sel mewah, termasuk mendapatkan diskon dalam berbagai jenis remisi seperti hari kemerdekaan, hari raya maupun remisi kemanusiaan," papar Kurnia.

Tentu saja, ICW melihat, pembatalan PP pengetatan remisi telah mencederai rasa keadilan masyarakat. Apalagi konsekuensiatas pembatalan tersebut menyebabkan pengaturan remisi tidak lagi mengenal pengelompokan narapidana tindak pidana khusus.

"Korupsi tidak lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan pengajuan remisinya tidak lagi wajib menjadi justice collaborator maupun membayar uang pengganti korupsi," ujar dia.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement