REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengajak ulama-ulama pesantren, membangun komitmen pencegahan FGM/C (female genital mutilation/cutting) atau P2GP (pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan) terhadap perempuan. KPPPA menilai, praktik FGM/C atau P2GP merupakan salah satu bentuk kekerasan berbasis gender yang kerap dilakukan karena telah menjadi ajaran atau budaya turun-temurun di masyarakat.
"Padahal, praktik FGM/C atau P2GP yang berkembang hingga hari ini bukan merupakan tindakan kedokteran karena pelaksanaannya tidak berdasarkan indikasi medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan," kata Menteri PPPA Bintang Puspayoga melalui siaran pers di Jakartra, beberapa waktu lalu.
Melalui Musyawarah Ulama Pesantren ke-II, para ulama pun bermusyawarah untuk menghasilkan rekomendasi untuk kemaslahatan bagi semua pihak khususnya perempuan sebagai pihak yang terdampak. Menteri Bintang menyampaikan, bahwa ulama memiliki peran penting untuk turut menuntaskan berbagai tantangan dalam permasalahan praktik FGM/C atau P2GP sekaligus memperbaiki pandangan-pandangan yang masih keliru di masyarakat.
Dari perspektif keadilan hakiki perempuan, Dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Nur Rofiah menerangkan, ada implikasi berbeda bagi perempuan dan laki-laki ketika dikhitan. Secara fisik, perempuan memiliki 29 potensi dampak biologis dari berhubungan seksual mulai dari perubahan bentuk selaput dara hingga menyusui anak selama dua tahun.
Sementara laki-laki hanya merasakan satu dampak yakni keluarnya sperma."Konsep keadilan hakiki penting dipertimbangkan demi mewujudkan kemaslahatan bersama, baik bagi laki-laki dan perempuan," kata Nur Rofiah.
Musyawarah Ulama ke-II ini diharapkan akan menghasilkan rekomendasi yang lebih kuat dalam membangun komitmen ulama untuk mencegah FGM/C atau P2GP.