REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mendorong pemerintah membuat aturan yang jelas dalam penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 3 untuk seluruh wilayah Indonesia pada masa libur natal dan tahun baru (nataru) mendatang. Dicky menilai pelonggaran PPKM yang tidak terukur dan strategi komunikasi yang tidak memadai membuat masyarakat cenderung abai terhadap penerapan protokol kesehatan.
Padahal, lonjakan masih sangat mungkin terjadi, mengingat jumlah populasi yang belum memiliki imunitas karena belum divaksinasi. Kemudian, yang belum terinfeksi Covid-19 masih cukup signifikan, setidaknya 40 persen dari total populasi.
Selain itu, adanya perburukan situasi pandemi di Eropa, Asia, dan Kawasan ASEAN, kembali memberi sinyal serius perlunya upaya pengetatan 3T, 5M, dan akselerasi vaksinasi. Saat ini, sejumlah negara di dunia kembali mengalami pertambahan kasus Covid-19, seperti di Eropa dan Cina.
Dicky mengatakan, meskipun telah gencar mengadakan vaksinasi, namun kini mereka tengah kewalahan dengan naiknya tingkat infeksi virus. Menurunnya kasus secara nasional tidak boleh membuat menjadi lengah.
Populasi yang belum tercakup vaksinasi, mobilitas, dan keberadaan varian Delta merupakan kombinasi maut yang bisa memakan korban. Meskipun tidak sebesar gelombang kedua, gelombang ketiga Covid-19 di Indonesia berpotensi terjadi di triwulan pertama tahun 2022, dengan asumsi tidak ada varian yang lebih “super’ dari Delta bersirkulasi di Indonesia.
"Karenanya, jika kita tidak berhati-hati, masa nataru menjadi momen yang rawan, sehingga kepatuhan masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan harus lebih ketat, apalagi dengan mobilitas yang tinggi dan masa karantina yang dipersingkat,” ujar Dicky dalam keterangannya, Senin (22/11).
Lebih lanjut Dicky mengatakan, dirinya bersama Yayasan Bina Swadaya telah menyusun naskah akademik Peta Jalan Adaptasi Pengendalian dan Pemulihan Dampak Covid-19. Peta jalan ini memberikan arahan langkah apa saja yang perlu dilakukan oleh semua pihak untuk mempercepat transisi masa pandemi menuju endemi untuk tercapainya target pembangunan kesehatan.
Peta jalan ini mengungkap enam pokok permasalahan sektor kesehatan Indonesia yang perlu dimitigasi dalam upaya pemulihan dampak Covid-19, yaitu:
1. Belum tercapai abang batas herd immunity
2. Belum optimalnya deteksi dini dan pencegahan
3. Belum memadai kapasitas lonjakan faskes saat krisis
4. Belum konsistennya perilaku adaptif publik
5. Belum optimalnya koordinasi dan monitoring
6. Potensi penurunan kualitas layanan kesehatan
Solusi yang ditawarkan peta jalan ini meningkatkan vaksinasi, melakukan komunikasi risiko, menerapkan tes-lacak-isolasi, melakukan terapi anti-virus, pengawasan, pengendalian perbatasan, menerapkan perilaku 5M. Kemudian, memperbaiki kualitas udara, memberikan insentif kepada tenaga kesehatan, perlindungan pada kelompok rentan, evaluasi berkala, penguatan sarana dan prasarana sektor kesehatan, memberikan pendanaan serta melakukan riset dan diplomasi kesehatan.
“Kombinasi antara peningkatan program vaksinasi dan konsistensi dalam menaati 5M merupakan hal yang paling penting selama masa pandemi," tegasnya.
Selain itu, kebijakan dari pemerintah dan penyebaran informasi harus selalu dipastikan sampai kepada masyarakat hingga ke pelosok negeri untuk meminimalkan dampak. Di sisi lain, Dicky berpendapat penanganan pandemi Covid-19 berbeda dengan penanganan bencana alam.
Dampak bencana alam cenderung terjadi dalam satu periode dan pemulihannya bersifat linier, yaitu kesiapsiagaan, respons, pemulihan, dan mitigasi. Sementara peristiwa pandemi cenderung dapat terjadi dalam beberapa gelombang, sehingga tantangannya adalah proses pemulihannya bersifat lebih kompleks dan rumit.