Ahad 12 Dec 2021 19:46 WIB

7.000 Tentara Bayaran Rusia Masih Beroperasi di Libya

Kontraktor militer swasta Wagner dituduh melakukan perang rahasia atas nama Kremlin.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
Kota Sirte di Libya yang porak poranda karena perang.
Foto: AP
Kota Sirte di Libya yang porak poranda karena perang.

REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Lebih dari 7.000 tentara bayaran Rusia, Wagner masih beroperasi di Libya. Kepala Dewan Tinggi Negara Libya, Khalid al-Mishri, mengatakan, tentara bayaran Wagner dipersenjatai dengan berbagai jenis senjata, termasuk pesawat tempur.

“Mereka memiliki 30 jet tempur di pangkalan militer Algourbabia (di Sirte) dan di pangkalan al-Jufra. Rusia sedang mencari pijakan di Afrika Utara dan mereka menemukannya di Libya," kata al-Mishri, dilansir Anadolu Agency, Ahad (12/12).

Baca Juga

Tentara bayaran Wagner adalah pendukung utama panglima perang Libya, Khalifa Haftar. Mereka aktif beroperasi di Libya sejak 2019. Pada tahun lalu, Amerika Serikat (AS) menuding tentara bayaran Rusia menanam ranjau darat dan alat peledak improvisasi (IED) di sekitar ibu kota Tripoli, Libya.

Komando Militer Afrika (Africom) menyatakan, sebuah bukti foto yang telah diverifikasi menunjukkan jebakan dan ladang ranjau di Tripoli. Washington melacak penggunaan alat peledak tersebut ke Wagner Group, sebuah organisasi paramiliter Rusia yang beroperasi di Libya.

Kontraktor militer swasta itu dituduh melakukan perang rahasia atas nama Kremlin di sejumlah negara termasuk Sudan, Suriah, dan Ukraina. "Penggunaan ranjau darat oleh Wagner Group membahayakan warga sipil yang tidak bersalah," ujar Direktur Intelijen Africom, Heidi Berg, dilansir Middel East Eye.

Rusia berulang kali membantah laporan media bahwa, Wagner Group telah memasang ranjau darat tersebut. Sebuah laporan rahasia PBB menyatakan, Wagner Group memiliki antara 800 hingga 1.200 kontraktor militer di lapangan, termasuk penembak jitu dan tim militer khusus.

Wagner Group diyakini adalah milik Yevgeny Prigozhin, seorang pengusaha yang mempunyai hubungan dekat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. "Wagner Group yang disponsori Rusia menunjukkan pengabaian total terhadap keselamatan dan keamanan Libya. Taktik tak bertanggung jawab Wagner Group adalah memperpanjang konflik dan bertanggung jawab atas penderitaan yang tak perlu dan kematian warga sipil tak berdosa," ujar Direktur Operasi di Africom, Bradford Gering.

Sejak 2014, Libya telah terpecah antara wilayah-wilayah yang dikendalikan oleh pemerintah yang diakui internasional (GNA), dan wilayah yang dipegang oleh pasukan yang setia kepada Haftar. Turki, bersama dengan sekutu regional Qatar mendukung GNA. Sementara tentara bayaran Rusia, Uni Emirat Arab dan Mesir mendukung Haftar.

Libya akan mengadakan pemilihan presiden dan parlemen pada 24 Desember mendatang di bawah kesepakatan yang disponsori PBB. Rakyat Libya berharap, pemilihan umum dapat berkontribusi untuk mengakhiri konflik bersenjata yang telah melanda negara kaya minyak itu selama bertahun-tahun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement