REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito menegaskan, vaksinasi untuk anak usia 6-11 tahun adalah bagian perlindungan ekstra dari penularan Covid-19. Itu disampaikan Wiku sebagai penegasan sekaligus membantah informasi hoaks yang menyebut vaksinasi menjadikan anak-anak sebagai kelinci percobaan.
"Video yang beredar menyatakan vaksinasi menjadikan anak-anak sebagai kelinci percobaan adalah hoax yang sangat tidak bertanggung jawab," ujar Wiku dalam keterangan persnya secara daring, Kamis (23/12).
Wiku berharap masyarakat tidak mudah terpengaruh dengan beredarnya informasi-informasi hoaks. Ia menegaskan, vaksin Sinovac yang diperuntukkan untuk anak usia 6-11 tahun baik yang diproduksi langsung di China atau kerja sama dengan Bio Farma telah mendapat izin penggunaan masa darurat atau emergency use authorization (EUA) serta penerbitan nomor izin edar (NIE) oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Ia mengatakan, EUA atau persetujuan darurat kepada obat ataupun vaksin Covid-19 yang masih dalam tahap pengembangan di masa pandemi semata-mata untuk memberikan perlindungan terbaik bagi seluruh masyarakat. "Termasuk anak-anak usia 6 sampai 11 tahun di tengah potensi penularan Covid-19 yang masih tetap ada," ujar Wiku.
Kedua, berdasarkan hasil laporan ilmiah dari uji coba telah dilakukan pemantauan berkala kepada penerima vaksin di Cina. Keputusan ilmiah ini mempertimbangkan keamanan dan kemampuan pembentukkan antibodi, sehingga vaksin dapat direkomendasikan untuk anak kelompok usia 6 sampai dengan 11 tahun
Wiku menambahkan, EUA yang diberikan menjadi upaya percepatan proses pengembangan registrasi dan evaluasi vaksin tanpa melupakan aspek mutu, keamanan, dan khasiatnya. "Vaksinasi anak dilakukan di berbagai sentra seperti puskesmas, rumah sakit, pos pelayanan vaksinasi di sekolah atau satuan pendidikan lainnya maupun lembaga kesejahteraan sosial anak," katanya.
Karena itu, Wiku meyakini masyarakat Indonesia sudah semakin cerdas dalam menghadapi hoaks terkait vaksin Covid-19. Ia juga berharap masyarakat tidak ikut menyebarkan konten tanpa basis ilmiah yang semata-mata dibuat untuk menyebarkan ketakutan.
"Mohon siapapun untuk tidak membuat konten informasi yang salah dan tidak berbasis fakta serta data ilmiah dari sumber terpercaya karena terdapat sanksi hukum apabila menyebar dan menimbulkan misinformasi dan disinformasi," katanya.