REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) mengeluarkan nasihat bisnis untuk Myanmar pada Rabu (26/1/2022). Washington memperingatkan risiko tinggi yang terkait dengan melakukan bisnis di negara itu terutama ketika militer terlibat.
Rekomendasi itu memperingatkan bahwa bisnis harus waspada terhadap risiko keuangan terlarang. Terdapat pula risiko reputasi dan hukum dalam melakukan bisnis dan memanfaatkan rantai pasokan di bawah kendali militer Myanmar.
"Kudeta dan pelanggaran berikutnya yang dilakukan oleh militer secara mendasar telah mengubah arah lingkungan ekonomi dan bisnis di Burma," kata rekomendasi itu.
Militer Myanmar merebut kekuasaan dalam kudeta pada 1 Februari tahun lalu, setelah mengeluhkan klaim kecurangan dalam pemilihan umum November 2020 yang dimenangkan oleh partai dari Aung San Suu Kyi. Kelompok pemantau pemilu tidak menemukan bukti kecurangan massal tersebut.
Junta telah berperang di berbagai bidang sejak merebut kekuasaan. Militer pun menindak dengan kekuatan mematikan pada protes sambil mengintensifkan operasi terhadap tentara etnis minoritas dan milisi yang baru dibentuk yang bersekutu dengan pemerintah yang digulingkan.
"Kembalinya pemerintahan militer di Burma membawa serta korupsi publik tingkat tinggi dan rezim anti pencucian uang yang kurang," kata Wakil Menteri Keuangan untuk Terorisme dan Intelijen Keuangan Brian Nelson mengatakan dalam sebuah pernyataan.
Rekomendasi tersebut mengutip perusahaan milik negara, permata dan logam mulia, proyek real estat dan konstruksi juga senjata, peralatan militer, serta kegiatan terkait sebagai entitas dan sektor yang menjadi perhatian terbesar di negara itu. Perusahan-perusahan itu pun telah diidentifikasi sebagai penyedia sumber daya ekonomi untuk junta.
Perusahaan milik negara, termasuk Myanma Oil and Gas Enterprise dan Myanma Timber Enterprise, memainkan peran besar dalam perekonomian negara. Perusahaan itu menghasilkan sekitar setengah dari pendapatan junta.
Anjuran itu datang setelah perusahaan minyak Total Energies dan Chevron Corp , mitra dalam proyek gas besar di Myanmar, mengatakan pekan lalu bahwa mereka menarik diri dari negara itu. Penarikan ini dengan alasan situasi kemanusiaan yang memburuk setelah kudeta.