REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Advokasi Nasional Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Ratna Batara Munti, berharap Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dapat melindungi korban pemaksaan aborsi korban kriminalisasi. Perlindungan korban pemaksaan aborsi diharap bisa masuk Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
"Kita melihat pasal dan undang-undang yang disebutkan ini masih diskriminatif. Belum melindungi korban pemaksaan aborsi, karena undang-undang yang berlaku tidak dapat melindungi korban," kata Ratna dalam acara Konsultasi Publik DIM RUU TPKS dengan K/L, Masyarakat Sipil dan Akademisi yang diikuti secara virtual di Jakarta, Senin (7/2/2022).
LHB Apik mendorong agar pemaksaan aborsi dimasukkan ke dalam DIM RUU TPKS. "Pemaksaan aborsi, kami sangat berharap agar masuk di dalam DIM," katanya.
Ratna mencontohkan kasus seorang anak yang dipaksa untuk melakukan aborsi oleh orang tuanya, karena merasa malu anaknya hamil. "Seorang anak, korban perkosaan oleh kakaknya, lalu tentu saja mungkin ibunya merasa malu, sehingga menyuruh anaknya aborsi. Ini kan ada relasi yang tidak mudah ya, bagaimana anak bisa menolak orang tua," katanya.
Ratna menambahkan yang terjadi berikutnya adalah anak tersebut dijerat oleh Undang-undang Perlindungan Anak, padahal anak tersebut adalah korban. "Undang-undang Perlindungan Anak yang seharusnya melindungi anak malah justru menjerat anak," katanya.
Menurutnya, RUU TPKS diharapkan dapat mencegah pemidanaan terhadap korban pemaksaan aborsi dan perempuan yang melakukan aborsi akibat indikasi kedaruratan medis atau akibat perkosaan atau kekerasan seksual lainnya.