REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi satu-satunya fraksi yang menolak revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) menjadi usul inisiatif DPR. Ada tujuh catatan Fraksi PKS terkait revisi undang-undang tersebut.
Pertama terkait omnibus sebagai metode pembentukan peraturan perundang-undangan yang akan dimasukkan ke dalam revisi UU PPP. Metode tersebut haruslah bertujuan untuk mereformasi proses pembentukan peraturan perundang-undangan agar menjadi lebih baik, berkualitas, dan berpihak kepada kepentingan rakyat.
"Jangan sampai dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan dijadikan sarana untuk menyelundupkan berbagai kepentingan yang dapat merugikan rakyat dan negara," ujar anggota Badan Legislasi (Baleg) Fraksi PKS Bukhori Yusuf dalam rapat paripurna Masa Persidangan III Tahun Sidang 2021-2022, Selasa (8/2/2022).
Kedua, Fraksi PKS mengusulkan adanya syarat dalam menggunakan omnibus sebagai metode pembuatan undang-undang. Metode omnibus hanya dapat digunakan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan terhadap satu bidang atau satu topik khusus tertentu.
Kemudian, diperlukan pengaturan tentang alokasi waktu yang memadai untuk penyusunan peraturan perundang-undangan yang menggunakan metode omnibus. Agar penyusunannya tidak dilakukan dengan tergesa-gesa dengan mengabaikan partisipasi publik.
Ketiga, Fraksi PKS menolak ketentuan tentang perbaikan rancangan undang-undang setelah persetujuan bersama antara DPR dan presiden dalam rapat paripurna. Karena hal ini membenarkan praktik legislasi yang tidak baik, sehingga merendahkan marwah pembentuk undang-undang.
"Seperti yang terjadi pada saat pengesahan RUU tentang Cipta Kerja, dimana terdapat perubahan materi muatan RUU Cipta Kerja secara substansial pascapersetujuan bersama DPR dan Presiden yang tidak sekadar bersifat teknis penulisan. Termasuk juga mengubah substansi dan terdapat salah dalam pengutipan," ujar Bukhori.
Selanjutnya, Fraksi PKS menegaskan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan harus melibatkan pihak yang pro dan kontra secara seimbang. Serta sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat, baik dari kalangan akademisi perguruan tinggi, organisasi masyarakat, maupun masyarakat umum.
Lima, Fraksi PKS memberikan catatan perihal pengaturan tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang dapat dilakukan berbasis elektronik. Agar aturannya perlu diperjelas mengenai ruang lingkup dan pembatasannya agar dalam praktiknya tidak menimbulkan multitafsir.
"Perlu diperjelas mengenai apa yang dimaksud dengan pembentukan peraturan perundang-undangan berbasis elektronik, apakah meliputi proses pembahasan dalam rapat-rapat di DPR yang dapat dilakukan secara virtual tanpa kehadiran fisik di ruang rapat," ujar Bukhori.
Keenam, Fraksi PKS mengkritisi perihal pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang diambil alih menjadi dikoordinasikan oleh Menteri atau Kepala Lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dinilai bertentangan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah.
Terakhir, Fraksi PKS menegaskan bahwa revisi UU PPP tidak dimaksudkan semata-mata untuk memberikan payung hukum terhadap UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun sebagai upaya untuk menyusun tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan dalam rangka perbaikan kualitas legislasi yang memihak kepada kepentingan rakyat.
"Dengan disahkannya perubahan undang-undang ini, maka tetap harus ada pembahasan ulang secara benar terhadap UU tentang Cipta Kerja yang telah dinyatakan cacat formil/inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi," ujar anggota Komisi VIII DPR itu.
"Kami Fraksi Partai Keadilan Sejahtera menyatakan menolak untuk dilakukan pengambilan keputusan pada hari ini sebelum adanya perbaikan-perbaikan yang menjadi catatan penting FPKS," sambungnya.