REPUBLIKA.CO.ID, oleh S Bowo Pribadi, Muhammad Fauzi Ridwan, Idealisa Masyrafina, Nawir Arsyad Akbar, Dessy Suciati Saputri, Dedy Darmawan Nasution
“Untung perajin tahu sekarang sangat tipis, duit tabungan bocor untuk menutup biaya produksi. Situasinya sedang berat bagi perajin tahu.”
Keluh kesah ini keluar dari mulut Sukarni (50), pemilik usaha produksi tahu di lingkungan Jatisari, RT 07/ RW 05 Kelurahan Gedanganak, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Senin (21/2/2022). Menurutnya, beban produksi para perajin tahu untuk saat ini tidak melulu hanya kedelai yang harganya mahal, namun juga minyak goreng yang terkadang masih sulit didapatkan dan belum lagi bahan bakar dan gaji karyawan.
Ia mengaku untuk bahan baku kedelai, ia selalu membeli persediaan untuk kebutuhan satu bulan. Untuk kebutuhan kedelai saja mencapai 2,5 ton per bulan atau Rp 2,5 juta. “Tetapi itu pembelian kedelai bulan kemarin, untuk kebutuhan satu bulan ke depan, distributornya sudah memberi aba-aba (harga kedelai) naik menjadi Rp 11.000 per kilogram,” jelasnya.
Yang jelas, lanjut Sukarni, selain kedelai, komponen pengeluarannya produksi yang tinggi adalah minyak goreng. Untuk satu bulan pengeluaran minyak goreng juga mencapai Rp 500.000 per bulan.
Saat harga minyak goreng mahal, pengeluaran tersebut juga membengkak. “Baru beberapa hari lalu, saya beli dua jeriken dapat subsidi satu jeriken. Lumayan untuk mengurangi pengeluaran,” tambahnya.
Di tengah situasi seperti ini, ia dan para perajin tahu di lingkungan Jatisari masih tetap berproduksi, karena setiap hari harus memasok kebutuhan tahu kepada para pedagang di pasar Johar dan beberapa pasar tradisional di Kabupaten Semarang.
Namun untuk sekarang ini, para perajin tahu memang tidak bisa memikirkan untung, artinya tidak sampai merugi saja itu sudah beruntung. Sebab selama harga kedelai mahal para perajin tidak mungkin ikut-ikutan menaikkan harga jual tahu. Yang sangat bisa dilakukan adalah mengurangi ukuran potongan tahu atau menjadi lebih tipis.
Kendati begitu, keuntungan yang bisa diambil para perajin tahu pun juga sangat tipis dan terkadang harus nombok untuk menutup biaya produksi. “Saya sendiri beberapa kali harus merelakan uang tabungan agar produksi tetap bisa berjalan,” tambahnya.
Sukarni berharap situasi seperti ini tidak bisa berlangsung terus-menerus. Ia berharap ada kebijakan yang diambil Pemerintah terkait dengan harga komoditas bahan baku utama produksi tahu.
Sehingga bisa meringankan para perajin tahu dan tempe. Karena harga kedelai sebelum ada Covid-19 hanya Rp 6.500 per kilogram. “Kalaupun tidak tidak bisa turun kembali ke harga Rp 6.500 per kilogram, harga kedelai tidak semahal sekarang,” katanya.
Di Kota Bandung situasinya sedikit berbeda karena ratusan pengrajin tahu mogok berproduksi sejak hari ini hingga Rabu (23/2/2022). "Jadi, sekarang mulai mogok dari Senin-Rabu, kalau sekarang mah rata semuanya mogok, enggak seperti tahun kemarin masih ada yang produksi," ujat pengrajin tahu di Sentra Tahu Cibuntu, Haji Galih.
Ia mengeklaim seluruh pengrajin tahu di Kota Bandung mogok berproduksi termasuk di sentra tahu di Cibuntu bahkan seluruh Indonesia. Total terdapat ratusan pengrajin tahu di Cibuntu yang melaksanakan mogok berproduksi.
Ia menegaskan pihaknya melakukan mogok berproduksi agar didengar oleh pemerintah, Koperasi Produsen Tahu dan Tempe Indonesia (Kopti) dan agen kacang kedelai bahwa pabrik tahu di Jabar banyak. Mereka minta agar tidak dengan mudah menaikkan harga kacang kedelai.
"Jangan seenaknya naikin harga sampai tidak turun lagi, yang saya perhatikan pemerintah seperti tidak melihat ke bawah. Sebelum ada demo dari paguyuban mah diam saja tidak ramai, kan kedelai ini sebenarnya sudah naik dari dua bulan lalu, cuma paguyuban dan pabrik tahu masih bersabar, tapi ternyata pemerintah malah diam saja," katanya.
Harga kacang kedelai yang dijual ke pengrajin bervariasi mulai dari Rp 11.100 hingga Rp 11.500. Sedangkan di wilayah Subang bahkan Jawa bisa mencapai Rp 12 ribu. "Harga per papan kemarin saat harga kacang normal di Rp 8.500 sampai Rp 9.000, harga tahu per papannya Rp 50 ribu. Rencananya kalau naik jadi Rp 55 ribu, naik Rp 5 ribu itu sebenarnya bukan mencari untung tapi mengurangi kerugian, karena tidak sebanding dengan ongkos produksi dan harga kedelai," katanya.
Di Purwokerto mogok produksi dan jualan juga terjadi. Pengrajin tahu di Jalan Kaliputih, Kel Purwokerto Wetan, Kec Purwokerto Timur, Banyumas, Teguh Setiyanto (45 tahun) merupakan salah satu pengrajin yang mogok jualan di Pasar Wage Purwokerto.
"Hari ini saya nggak jualan di Pasar Wage, tapi saya tetap produksi," ujar Teguh. Ia tetap memproduksi karena bahan baku tahu (laru) harus tetap diolah agar tidak membusuk. Teguh mengungkapkan, sebelum harga kedelai naik, masih sekitar Rp 9.500 per kilogram, setiap harinya ia bisa memproduksi sekitar 9 masak tahu atau sebanyak 45 kilogram kedelai.
Saat ini, di harga kedelai Rp 12 ribu per kilogram, Teguh hanya memproduksi sebanyak 6 masak atau 30 kilogram per hari, dengan 2 masak diolah menjadi tahu goreng. Untuk menyiasati harga yang naik, ia menjual tahu dengan ukuran yang lebih kecil. Ia mencontohkan, sebelum harga melonjak, 1 masak tahu akan dipotong 15 x 17, saat ini ia potong lebih kecil menjadi 16 x 18 potong per masak.
"Kalau ada kenaikan harga kedelai ini kan nggak mungkin kita naikin harga, pembeli nggak akan mau, paling kita perkecil ukurannya," ujar Teguh.
Sementara itu, pedagang tempe di Pliken, Kec Kembaran, Sulaiman (56 tahun) mengatakan, meski jumlah kedelai yang diproduksi diturunkan, dari 35 kg menjadi 25-30 kg per hari, ia tetap harus menaikkan harga jual. Hal ini untuk tetap mempertahankan arus penjualan tempe. "Masih tetap ada yang mau beli tapi ada juga yang tidak mau beli dengan harga dinaikkannya," kata Sulaiman.