REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan. A, Febrianto Adi Saputro, Antara
Banyak kasus kekerasan seksual yang proses hukumnya mandek. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai, hal itu disebabkan lantaran RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) tak kunjung rampung dibahas dan disahkan.
Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur mengatakan, mandeknya proses hukum kasus kekerasan seksual (KS) itu tampak dalam pendampingan hukum yang dilakukan LBH Jakarta. Sepanjang 2021, LBH Jakarta menerima 35 pengaduan kasus KS.
Bentuknya berupa kasus perkosaan, pelecehan seksual, kekerasan berbasis gender online (KBGO), eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi. "(Tapi), kasus-kasus tersebut masih menemui hambatan yang serupa dari tahun-tahun sebelumnya," kata Isnur dalam siaran persnya, Selasa (8/3/2022).
Hambatan itu, kata Isnur, berupa proses hukum yang berlarut-larut (undue delay), pembuktian, tidak adanya pasal yang mengatur kejahatan seksual tertentu, intimidasi dari pelaku, dan kurangnya dukungan dari lingkungan terdekat korban. "Bahkan perspektif aparat penegak hukum cenderung menyalahkan korban dan tidak adanya perlindungan yang komprehensif bagi korban," ujarnya.
LBH di kota lain, kata Isnur, juga menghadapi persoalan serupa dalam mendampingi kasus KS. Bahkan, ada pelaporan terhadap dua Pengabdi Bantuan Hukum (PBH) LBH Yogyakarta yang mendampingi 30 korban KS dan telah mendapatkan kuasa penuh dari para korban.
Insur menambahkan, LBH Makassar juga menangani kasus KS yang salah satunya ramai diperbincangkan melalui tagar #percumalaporpolisi di media sosial. Kasus dugaan pemerkosaan terhadap tiga anak di Luwu Timur itu menjadi sorotan karena penyelidikannya dihentikan polisi pada 2019. Penyelidikan kasus ini dibuka kembali setelah pemberitaannya ramai.
Menurut Isnur, banyak kasus KS yang mandek terjadi karena belum ada pengaturan dan perlindungan yang komprehensif bagi korban dalam tataran undang-undang. "Hampir satu dasawarsa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual parkir di DPR RI," ungkap Isnur.
Tak kunjung rampungnya pembahasan RUU TPKS ini, kata Isnur, menunjukkan bahwa negara belum benar-benar menganggap serius isu KS. Padahal jumlah kasus yang naik ke permukaan bukanlah jumlah sebenarnya, mengingat kasus-kasus ini merupakan fenomena gunung es.
"Masih banyak sekali kasus-kasus yang tidak dilaporkan lantaran tidak adanya jaminan perlindungan bagi korban dan tidak adanya akses bantuan hukum dan psikososial yang memadai," ujarnya.
Karena itu, kata Isnur, dalam momen peringatan International Women’s Day kemarin, YLBHI mendesak Pemerintah dan DPR RI segera membahas dan mengesahkan RUU TPKS. "Libatkan penuh kelompok korban, penyintas, perempuan, pendamping, organisasi bantuan hukum, akademisi dan jaringan masyarakat sipil lainnya (dalam pembahasannya)," kata dia.