REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Berdasarkan data dari Satgas Covid-19 terkini, kasus kematian Covid-19 di Indonesia masih ratusan jiwa per harinya. Pada Kamis (10/3/2022) misalnya, tercatat 278 pasien Covid-19 meninggal dunia dalam 24 jam terakhir.
Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan, masyarakat tidak boleh terlalu jemawa dengan tren penurunan kasus aktif Covid-19 saat ini. Karena, angka kematian masih berada di atas angka 200.
Menurutnya, ada banyak faktor yang menyebabkan angka kematian masih cukup tinggi. Salah satunya adalah intervensi di hulu yang masih lemah.
“Sehingga mengakibatkan pasien terdeteksi cepat dan tidak dirujuk cepat, akibatnya tidak ditangani juga cepat nah ini yang membuatnya terjadi kematian,” terang Dicky kepada Republika, Kamis.
Kedua, pemerintah juga harus mengevaluasi pemenuhan kebutuhan setiap pasien yang melakukan isolasi mandiri di rumah. Karena, ada beberapa kasus, pasien kekurangan makanan serta tidak adanya dukungan sosial yang turut membantu.
Dicky menambahkan, di Indonesia, sebagian besar orang banyak yang enggan ke rumah sakit untuk memeriksakan diri. Sehingga, banyak pula kematian yang terjadi lantaran masih lemahnya deteksi awal di masyarakat.
“Kematian yang kerap terjadi itu memberikan dua pesan penting pertama situasi jawaban masih serius karena kematian adalah indikator keparahan, kedua bahwa berarti ada proses transmisi kasus di masyarakat yang banyak yang tidak terdeteksi dan itu yang wajar karena memang kita masih dalam level community transmission yang terburuk,” terangnya.
Koordinator Tim Pakar dan Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menegaskan, pencegahan kematian harus diprioritaskan dalam upaya pengendalian penularan Covid-19. Berkaca pada perkembangan kasus, angka kematian menurutnya menjadi salah satu prioritas utama dalam proses transisi pandemi ke endemi.
“Dalam periode sejak 21 Januari hingga 6 Maret dari 8.230 pasien yang meninggal di rumah sakit, 51 persen memiliki komoditas dan 56 persen lansia dan 70 persen belum divaksinasi lengkap. Artinya, sangat penting untuk melindungi lansia dan kelompok rentan dengan memantau protokol kesehatan dan meningkatkan cakupan vaksinasi dosis penuh,” kata Wiku dalam diskusi daring.
Pemberian vaksin dosis penuh hingga booster, lanjut Wiku, pastinya dengan mempertimbangkan penurunan efektivitas vaksin karena adanya varian baru. Sehingga, jaminan terbaik dari kekebalan kelompok dapat dicapai dengan memvaksinasi sebanyak mungkin orang.
“Bahkan hingga lebih dari 70 persen penduduk. Sayangnya, berdasarkan vaksin pemerintah, data yang diproses oleh Our World in Data per 6 Maret 2022 hanya 55,3 persen dari populasi telah mendapatkan dosis penuh. Sementara itu, jumlah orang yang telah divaksinasi dengan yang satu itu telah mencapai 69,48 persen atau hampir tujuh puluh persen dari populasi, kita patut bersyukur di tengah keterbatasan vaksin,” tutur Wiku.
Menurutnya, Indonesia telah melampaui pencapaian dosis pertama di dunia. Oleh karena itu, Indonesia harus memanfaatkan akses vaksin dengan sebaik-baiknya dan terus meningkatkan upaya vaksinasi.
“Terutama memastikan bahwa masyarakat menerima dosis vaksin yang lengkap sekaligus sebagai booster untuk kekebalan. kekebalan komunitas yang terbentuk setelah vaksinasi. Mari kita awasi juga dengan sero survei rutin,” ujarnya.