REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG SELATAN-- Ahli Hukum Tata Negara, Jimly As-Shiddiqie mengungkapkan pentingnya rekonstruksi sistem ketatanegaraan strategi pembangunan sistem hukum dan politik di Indonesia. Menurutnya, perlu dibentuk adanya penataan kembali institusi negara.
Jimly menuturkan, sistem konstitusi Indonesia mengalami pembaruan dan perkembangan yang mendasar. Namun problematika warisan budaya masa lampau belum mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan zaman modern.
"Warisan budaya feodal masih sangat dominan pengaruhnya dalam kehidupan bernegara. Bahkan tanpa disadari dewasa ini muncul pula fenomena demokrasi politik yang semakin mahal biayanya menyebabkan faktor ekonomi berkembang semakin penting perannya dalam politik, sehingga konflik kepentingan antara bisnis dan politik terus berkembang luas dalam praktik," tutur Jimly dalam Seminar Pra Muhtamar Muhammadiyah Aisyiyah ke-48 bertajuk 'Rekonstruksi Sistem Ketatanegaraan Indonesia' di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Rabu (16/3/2022).
Jimly mengatakan, dengan kondisi itu pelembagaan dan penerapan aturan konstitusional yang baru masih menghadapi sederet kendala. Diantaranya, masih adanya gejala malfungsi vs disfungsi kelembagan, yakni banyak urusan ditangani terlalu banyak oleh konstutusi, tetapi banyak urusan yang tidak terurus dan tidak ada lembaga yang bertanggung jawab menanganinya. Juga masalah pelembagaan kebijakan-kebijakan anyar yang belum terkonsolidasi dan memerlukan evaluasi ulang, seperti keberadaan DPD dan KY.
"Problem warisan budaya feodal yang terus dominan pengaruhnya dalam politik dan dengan mudah mempengaruhi terbentuknya sistem dinasti dalam politik nasional dan daerah di seluruh Indonesia. Kendala lainnya, makin kuatnya pengaruh modal, sehingga berkembang kenyataan bahwa dunia usaha semakin dominan pengaruhnya dalam proses-proses demokrasi politik bernegara," jelasnya.
Jimly berpendapat, keterpaduan sistem hukum perlu ditata dengan menggunakan metode 'omnibus law' secara lurus dan benar, semata-mata untuk kepentingan penataan kehidupan berbangsa dan bernegara yang maju dan berkembang dalam jangka panjang. Bukan untuk kepentingan sempit dan jangka pendek untuk golongan sendiri, apalagi untuk pribadi sendiri.
PP Muhammadiyah melihat adanya gejala deviasi hingga distruksi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini. Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti dalam kesempatan yang sama. "Muhammadiyah melihat ada gejala deviasi, gejala distorsi, dan distruksi dalam sistem ketatanegaraan kita, sehingga tema 'Rekonstruksi Sistem Ketatanegeraan Indonesia' secara khusus diangkat untuk bagaimana melihat komprehensif sistem ketatanegaraan kita," ujar Mu'ti di UMJ.
Mu'ti menyebut sistem ketatanegaraan yang perlu dikaji diantaranya mulai dari sistem presidensial, sistem pemilu, sistem otonomi daerah, hingga berbagai lembaga. Menurutnya memang terdapat adanya ketidakefektifan dalam sistem ketatanegaraan negara.
"Memang setelah dievaluasi terjadi overlapping yang membuat penyelanggaraan negara tidak efektif. Berbagai sistem yang sekarang berjalan memang perlu untuk dikaji ulang eksistensinya, terutama yang memang berpotensi untuk menimbulkan berbagai permasalahan," tuturnya.
Mu'ti mengkritisi pelaksanaan dari sistem presidensial yang diketahui presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintah. Juga sistem parlemen yang perlu dikaji mengenai kondisu ideal peranan DPR dan DPD.
Sistem itu apakah ideal atau perlu perubahan, banyak kajian yang menemukan bagaimana DPD tidak begitu efektif sebagai sebuah lembaga negara. DPR tidak punya kewenangan konstitusional yang seharusnya itu bisa lebih diperkuat lagi atau misalnya kaitannya dengan representasi di DPD yang ternyata juga banyak dari kalangan anggota DPD yang justru diusung partai politik. "Walaupun dia bukan representasi partai politik tapi yang mengusungnya parpol, misalnya begitu," katanya.