REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani mengatakan, usulan penundaan Pemilu 2024 karena alasan adanya cebong dan kadrun sudah tidak relevan. Istilah cebong, kampret, dan kadrun digaungkan di era Pilpres 2019 yang mempertemukan Joko Widodo (Jokowi) versus Prabowo Subianto.
"Setelah big data, sekarang argumentasi cebong-kadrun. Ini sudah tidak relevan semenjak Prabowo dan Sandiaga Uno menjadi pembantu (menteri) Presiden Jokowi. Lagi pula itu argumen yang paling tak berkualitas dan sama sekali tak ada relevansinya dengan penundaan pemilu," ujar Kamhar dalam keterangan tertulisnya yang diterima Republika, Kamis (17/3/2022).
Dia mengaku miris melihat sikap menteri yang bertolak belakang dengan pernyataan Presiden Jokowi. Hal ini terkait klaim big data aspirasi masyarakat yang menunjukkan sebagian besar warganet ingin Pemilu 2024 ditunda.
Padahal, Jokowi telah menegaskan tunduk, taat, dan patuh pada konstitusi saat menanggapi isu penundaan pemilu. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD pun sudah secara tegas menyatakan tidak adanya penundaan pemilu.
"Kita miris melihat manuver-manuver yang dilakukan LBP (Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan) pembantu Presiden yang satu ini terus-menerus mempertontonkan aksi-aksi yang bertolak belakang dengan pernyataan Presiden Jokowi," kata Kamhar.
Menurut dia, big data yang mengeklaim warga net setuju Pemilu 2024 ditunda juga sudah dimentahkan sejumlah survei. Hasil survei justru menunjukkan hasil sebaliknya, bahwa mayoritas menolak penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Selain itu, alasan anggaran dan Covid-19 juga tidak dapat diterima. Sebab, pada 2020, pilkada serentak pun tidak ditunda dan terus berjalan meskipun kasus infeksi virus corona sedang tinggi saat itu.
Pada 2020 lalu kita melakukan Pilkada lebih dari separuh daerah di Indonesia, padahal Covid-19 lagi tinggi-tingginya, berjalan lancar dan berhasil. Masalah anggaran pun juga tak bisa diterima.
Kamhar menilai, usulan penundaan pemilu hanya syahwat kekuasaan, apalagi ketika Luhut mempertanyakan alasan Jokowi mesti turun dari jabatannya. Padahal sudah jelas jawabannya, konstitusi membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode dan pemilu dilaksanakan lima tahun sekali.
"Jadi tak ada satu pun argumentasi LBP yang kuat dan bisa diterima. Lebih baik LBP fokus dengan tupoksinya dan mempertanggung jawabkan hengkangnya Soft Bank yang hengkang dari investasi IKN (Ibu Kota Negara)," tutur dia.
Sebelumnya, Luhut melalui siaran Youtube Deddy Corbuzier, menyebut memilki big data aspirasi masyarakat di media sosial terkait pemilu 2024. Dirinya mengeklaim memiliki 110 juta big data dari berbagai media sosial.
"Karena begini, kita kan punya big data, saya ingin lihat, kita punya big data, dari big data itu, kira-kira meng-grab 110 juta. Iya, 110 juta, macam-macam, Facebook, segala macam-macam, karena orang-orang main Twitter, kira-kira orang 110 jutalah," kata Luhut.
Dari data itu, Luhut menjelaskan, masyarakat kelas menengah ke bawah ingin kondisi sosial politik yang tenang serta menginginkan agar kondisi ekonomi ditingkatkan. Selain itu, masyarakat juga tidak ingin politik ke depan seperti suasana pada Pemilu 2019 lalu.
"Kalau menengah ke bawah ini, itu pokoknya pengin tenang, ingin bicaranya ekonomi, tidak mau lagi seperti kemarin. Kemarin kita kan sakit gigi dengan kampret-lah, cebong-lah, kadrun-lah, itu kan menimbulkan tidak bagus. Masa terus-terusan begitu," ujarnya.