REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (UU Otsus) Papua dengan agenda mendengarkan keterangan ahli presiden pada Senin (28/3). Pemberi keterangan ahli presiden, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan, tidak ada ruang bagi Majelis Rakyat Papua (MRP) selaku pemohon perkara ini, untuk menguji UU Otsus Papua terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
"Tidak tersedia ruang bagi MRP menguji undang-undang tersebut terhadap Undang-Undang Dasar 1945," ujar Yusril dalam persidangan yang diakses melalui siaran Youtube MK, Senin (28/3/2022).
Dia berpendapat, MRP dikategorikan sebagai lembaga negara yang dibentuk berdasarkan amanat undang-undang, bukan UUD 1945 secara langsung. Hak dan kewenangan MRP berdasarkan perintah UU.
Apabila suatu ketika terdapat hak atau kewenangan yang dikurangi/dihilangkan dalam perubahan UU, tidak tersedia ruang bagi MRP untuk menguji UU tersebut terhadap UUD 1945. Yusril menilai, dalil terhadap UU Otsus Papua mengenai ketentuan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) hanya bisa diajukan oleh individu atau partai politik (parpol) yang memiliki hak konstitusional, bukan MRP.
"MRP tidak mempunyai kerugian konstitusional secara langsung, nyata, dan faktual dalam bentuk apapun, ataupun satu kerugian yang secara potensial menurut penalaran yang wajar dapat terjadi dengan berlakunya norma pasal-pasal tentang pengangkatan DPRP dan DPRK dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 ini," kata Yusril.
Terkait dalil terhadap ketentuan mengenai penghapusan partai politik lokal dalam UU 2/2021, menurut Yusril, MRP tidak mempunyai kerugian hak dan kewenangan konstitusional dengan dihapuskannya norma-norma tentang parpol lokal di Papua tersebut. Yusril menjelaskan, parpol lokal tidak diatur dalam UU tentang Partai Politik, melainkan UU mengenai daerah otonomi khusus yang hanya berlaku di Aceh dan Papua.
Dia berpandangan, parpol lokal hanya dikenal dalam UU tentang Otsus Aceh dan Papua sehingga keberadaan parpol lokal sangat bergantung kepada pembentuk UU, yakni presiden dan DPR RI. Jika ada warga negara atau parpol lokal yang telah berdiri sebelumnya merasa dirugikan akibat penghapusan parpol lokal maka keduanya yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan. Sebab, keduanya memiliki hak dan kewenangan seperti hak memilih serta hak dipilih yang diamanatkan konstitusi.
Yusril membenarkan MRP ialah lembaga negara sebagai representasi masyarakat Papua dalam hal tertentu sebagaimana disebutkan UU. Namun, MRP tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian pasal-pasal yang dimohonkan tersebut.
"Pada intinya kami berpendapat, secara formal pemohon tidak mempunyai legal standing (kedudukan hukum) untuk mengajukan permohonan secara materiil," kata Yusril.
Sebelumnya, MRP mengajukan permohonan uji materi UU Otsus karena mendapati adanya klausul-klausul yang justru merugikan kepentingan dan hak konstitusional orang asli Papua (OAP). MRP menilai penyusunan UU 2/2021 yang merupakan revisi UU 21/2001 itu murni hasil inisiatif pihak pemerintah pusat, bukan usul dari rakyat Papua.
"Karenanya Majelis Rakyat Papua merasa tindakan pemerintah pusat tersebut telah melanggar konstitusi Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," kata Ketua MRP Timotius Murib.