REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menghargai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 32/PUU-XIX/2021 mengenai pengujian Pasal 458 ayat 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). MK mengoreksi ketentuan yang menyebutkan putusan DKPP bersifat final dan mengikat.
"DKPP menghargai putusan Mahkamah Konstitusi terkait sifat putusan final dan mengikat tersebut," ujar Ketua DKPP Muhammad dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Rabu (30/3/2022).
DKPP mencermati, inti dari putusan tersebut yakni MK kembali menegaskan putusan terdahulunya. Dalam putusan MK nomor 32/PUU-XIX/2021, frasa "bersifat final dan mengikat" pada Pasal 458 ayat (13) UU Pemilu dimaksudkan mengikat bagi presiden, Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), sebagai atasan langsung yang berwenang mengangkat dan memberhentikan penyelenggara pemilu sesuai tingkatannya.
Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu tidak mempunyai kewenangan untuk berpendapat berbeda yang bertentangan dengan putusan DKPP. Sementara, keputusan presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu sebagai keputusan pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang bersifat konkrit, individual, dan final, dapat diajukan sebagai objek perkara di peradilan TUN oleh pihak-pihak yang tidak menerima putusan DKPP.
Putusan peradilan TUN yang telah berkekuatan hukum mempunyai kekuatan eksekutorial. Putusan peradilan TUN, baik yang mengoreksi atau pun menguatkan putusan DKPP, harus dipatuhi.
"Jadi, ketika ada putusan DKPP, Presiden wajib melaksanakan, Bawaslu dan KPU pun wajib melaksanakan sesuai tingkatannya, namun misalnya ada penyelenggara pemilu yang merasa dirugikan atas pelaksanaan putusan DKPP melalui keputusan administratif Presiden, KPU, dan Bawaslu maka hal inilah yang ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi, terbuka ruang untuk menggugat," kata Muhammad.
Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan Anggota KPU RI Arief Budiman dan Evi Novida Ginting Manik terhadap uji materi Pasal 458 ayat 13 UU Pemilu. "Mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan yang diakses melalui siaran langsung Youtube MK, Selasa (29/3).
Pasal 458 ayat 10 UU Pemilu menyebutkan, DKPP menetapkan putusan setelah melakukan penelitian dan/atau verifikasi terhadap pengaduan dugaan adanya pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, mendengarkan pembelaan dan keterangan saksi, serta mempertimbangkan bukti lainnya. Kemudian, dalam Pasal 458 ayat 13 UU Pemilu disebutkan, "Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan mengikat."
Dalam amar putusannya, MK menyatakan ketentuan Pasal 458 ayat 13 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat 10 mengikat bagi presiden, KPU, KPU Provinsi KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual, dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan TUN."
MK menegaskan pendiriannya bahwa DKPP bukan lembaga peradilan. DKPP memiliki kedudukan yang setara dengan KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu, sehingga tidak ada satu di antaranya yang mempunyai kedudukan yang lebih superior.
Hakim MK Suhartoyo menjelaskan, presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu harus melaksanakan putusan DKPP dan keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga yang menindaklanjuti putusan DKPP tersebut. Sementara, keputusan lembaga yang menjalankan putusan DKPP dapat dijadikan objek gugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) oleh pihak yang tidak menerima putusan DKPP.
Terhadap putusan PTUN yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dipatuhi dan menjadi putusan badan peradilan yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Dengan kata lain yang dimaksud final dan mengikat adalah presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu hanya menindaklanjuti putusan DKPP yang produknya dapat menjadi objek gugatan pada pengadilan TUN.
"Sehingga dengan demikian dalam konteks ini, presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu sebagai atasan langsung yang berwenang mengangkat dan memberhentikan penyelenggara pemilu sesuai tingkatannya, tidak mempunyai kewenangan untuk berpendapat berbeda yang bertentangan dengan putusan DKPP ataupun putusan TUN yang mengoreksi ataupun menguatkan putusan DKPP," jelas Suhartoyo.