REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Panitia kerja rancangan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menyepakati adanya kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE). Hal tersebut diatur dalam Pasal 7A RUU TPKS yang telah disepakati oleh pemerintah dan DPR.
Dalam Pasal 7A Ayat 1 dijelaskan tiga kategori yang dapat dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik. Pertama, setiap orang yang tanpa hak melakukan perekaman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman, gambar, atau tangkapan layar.
Kedua, orang yang tanpa hak mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual.
Terakhir, melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi objek dalam informasi atau dokumen elektronik untuk tujuan seksual.
Ketiga kategori tersebut dapat dipidana karena melakukan kekerasan berbasis elektronik dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Serta denda paling banyak Rp 200 juta.
Pasal 7A Ayat 2; "Dalam hal perbuatan sebagaimana pada Ayat 1 dilakukan dengan maksud untuk melakukan pemerasan, pengancaman, memaksa, menyesatkan, atau memperdaya seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau paling banyak Rp 300 juta".
Awalnya, pemerintah mengusulkan denda untuk pelaku kekerasan seksual berbasis elektronik, maksimal sebesar Rp 50 juta. Namun, anggota panitia kerja (Panja) RUU TPKS Irmadi Lubis menilai angka tersebut sangatlah kecil, karena usulan Badan Legislasi (Baleg) DPR adalah sebesar Rp 300 juta.
"Kalau begitu kita menganggap kekerasan seksual kejahatan biasa-biasa saja gitu. Kalau begitu cara penginiyaannya, mohon maaf prof, jadi kita berkesimpulan bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan yang biasa-biasa saja," ujar Irmadi dalam rapat Panja RUU TPKS, Senin (4/4/2022).
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy menjelaskan, penentuan denda untuk pelaku kekerasan seksual berbasil elektronik disusun menggunakan metode modified delphi system. Dengan juga memperhatikan interval denda pidana lainnya.
"Kalau kami menyusun itu ada yang dengan modified delphi system, itu untuk menentukan ancaman pidana itu ada tujuh kriteria," ujar Eddy.
Namun, pemerintah akhirnya menyepakati denda maksimal sebesar Rp 200 juta. Mengingat kekerasan seksual berbasis elektronik adalah kejahatan tingkat sedang yang merupakan kategori 4 modified delphi system.
"Jadi kalau merujuk RKUHP yang sudah disetujui dari segi kategori saya pikir cukup baik, maksimal 200 juta," ujar Eddy.