Senin 11 Apr 2022 08:05 WIB

Sulitnya Karantina Pasien Covid-19 di Shanghai

Shanghai menggandakan kebijakan karantina Covid-19

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
Warga berjalan di pedestrian yang kosong di Shanghai, China, Senin (29/3/2022). Shanghai melakukan karantina wilayah dua tahap terhadap 26 juta penduduknya pada Senin.
Foto: AP Photo/Chen Si
Warga berjalan di pedestrian yang kosong di Shanghai, China, Senin (29/3/2022). Shanghai melakukan karantina wilayah dua tahap terhadap 26 juta penduduknya pada Senin.

REPUBLIKA.CO.ID, SHANGHAI -- Lu yang berusia 99 tahun adalah penghuni lama di rumah sakit Perawatan Lansia Donghai Shanghai. Keluarganya yakin bahwa dia mendapatkan perawatan 24 jam di pusat kesehatan terbesar di kota itu.

Gambaran tersebut terjadi sebelum Covid-19 melanda kota terbesar China bulan lalu dan menjadi wabah terburuk di negara itu sejak virus Corona dilaporkan pertama kali di Wuhan pada akhir 2019. Virus ini berhasil menginfeksi banyak pasien, dokter, dan pekerja perawatan di fasilitas 1.800 tempat tidur Shanghai.

Penjaga memposting teriakan minta tolong di media sosial, mengatakan mereka kewalahan. Kerabat mengatakan bahwa ada beberapa kematian di tempat tersebut. Termasuk Lu yang menderita penyakit jantung koroner dan tekanan darah tinggi kemudian tertular Covid.

Meskipun Lu tidak memiliki gejala, dia dipindahkan ke fasilitas isolasi, keluarganya diberitahu pada 25 Maret. Menurut cucu Lu, kakeknya meninggal di sana tujuh hari kemudian, penyebab kematian terdaftar sebagai kondisi medis yang mendasarinya.

Dari berbagai pertanyaan yang dimiliki tentang hari-hari terakhir Lu, salah satunya mengapa pasien lanjut usia harus dikarantina secara terpisah. Mereka harus jauh dari petugas perawatan yang paling akrab dengan kondisi para lansia itu hanya karena aturan ketata karantina yang berlaku di Cina.

Ketika Lu dikarantina, keluarga bertanya, "Siapa yang akan merawatnya? Apakah akan ada petugas perawatan, dokter?" kata cucunya.

Menurut cucu Lu, neneknya  bukan orang yang bisa hidup mandiri. "Jika petugas perawatan memiliki Covid dan tidak ada gejala, mengapa mereka tidak bisa tetap bersama? Kekacauan dan tragedi yang terjadi di Shanghai kali ini benar-benar bermuara pada kebijakan yang kejam," katanya.

Kekecewaan cucu Lu ini mencerminkan banyak orang dengan kebijakan China tanpa toleransi terhadap Covid-19. Setiap orang yang dites positif harus dikarantina di tempat isolasi khusus, entah mereka menunjukkan gejala atau tidak.

Shanghai telah menjadi ujian bagi kebijakan ketat negara itu. Karantina rumah bukanlah suatu pilihan dan sampai kemarahan publik mendorong perubahan, Shanghai memisahkan anak-anak yang positif dari orang tua mereka.

Dari 1 Maret hingga 9 April, pusat keuangan China ini telah melaporkan sekitar 180.000 infeksi menular lokal. Sebanyak 96 persen di antaranya tidak menunjukkan gejala dan pemerintah tidak melaporkan kematian selama periode tersebut.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement