REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Syekh Abdul Qadir Al-Jailani merupakan salah satu tokoh sufi Sunni yang banyak menjadi rujukan dunia tasawuf dan sangat masyhur di Indonesia.
Sangat banyak karamah Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan dia mendapat julukan quthubul auliya' serta ghautsul idzam, orang suci terbesar dalam Islam.
Ulama asal Turki, Badiuzzaman Said Nursi mengungkapkan salah satu karamah dari Syekh Abdul Qadir. Dia menceritakan sebuah kejadian menarik di seputar karamah Syekh Abdul Qadir al-Jailani rahimahullah.
Kejadian ini dikisahkan Nursi dalam bukunya yang berjudul “Misteri Puasa, Hemat, dan Syukur” terbitan Risalah Nur Press.
Nursi menceritakan, ada seorang wanita tua memiliki anak satu-satunya yang diasuh oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Pada suatu hari, wanita tersebut pergi menemui anaknya.
Dia melihat anaknya sedang memakan sepotong roti kering berwarna coklat dalam rangka melakukan latihan spiritual (riyadhah ruhiyah) sehingga badannya lemah dan kurus.
Kondisi tersebut tentu saja menggugah hati sang ibu. Dia sangat kasihan dengan keadaan anaknya. Dia pun segera pergi mengadukan hal itu kepada Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
Ketika sampai, dia melihat Sang Syekh sedang memakan seekor ayam panggang. Karena rasa kasihan yang amat sangat, dengan terus terang dia berkata kepada sang Syekh.
“Wahai Syekh, anakku hampir mati kelaparan sedangkan engkau dengan enaknya makan ayam?!” Seketika itu pula Syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata kepada ayam yang ada di hadapannya, “Bangkitlah dengan izin Allah!” Ayam itu pun bangkit melompat keluar dari tempatnya setelah hidup kembali.
Berita ini diriwayatkan secara mutawatir maknawi oleh orang-orang yang bisa dipercaya untuk memperlihatkan salah satu karamah yang dimiliki oleh pemilik karamah terkenal di dunia, Syekh Abdul Qadir al-Jailani .
Di antara yang dikatakan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani ketika itu adalah, “Kalau anakmu sudah sampai ke jenjang ini, barulah dia boleh makan ayam.”
Maksud dari ungkapan tersebut adalah, “Jika jiwa anakmu sudah bisa menguasai jasadnya, jika qalbunya sudah bisa mendominasi nafsunya, jika akalnya bisa mengalahkan perutnya, serta dia bisa merasakan kenikmatan tersebut dalam rangka bersyukur, ketika itu dia boleh memakan makanan yang enak dan lezat.”