REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ihram merupakan rukun haji yang dilakukan dengan mengucapkan niat dan berpakaian ihram.
Dalam fikih, makna ihram sendiri adalah dilarang untuk melakukan keharaman ketika memasuki wilayah ihram.
Contoh perbuatan yang dilarang dalam ihram seperti membunuh, memotong rambut, dan juga berhubungan suami istri. Jika berhubungan suami istri tidak diperkenankan, lantas bagaimana hukumnya jika seseorang yang sedang berihram menikah atau menikahkan orang lain?
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid menjelaskan, para ulama saling berselisih pendapat tentang pernikahan orang yang sedang berihram.
Menurut Imam Malik, Imam Syafii, Al-Laits, Al-Auza’i, dan Imam Ahmad, orang yang sedang berihram tidak boleh menikah atau menikahkan.
Jika dia melakukannya, maka hukumnya batal. Inilah pendapat dari Sayyidina Umar bin Khattab, Sayyidina Ali bin Abu Thalib, Ibnu Umar, dan Zain bin Tsabit.
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, tidak apa-apa. Namun yang perlu ditekankan, mayoritas ulama melarang orang yang sedang berihram menikahkan.
Hal ini berdasarkan hadits Sayyidina Utsman yang diriwayatkan Imam Muslim:
لا يَنكِحِ المُحْرِمُ، ولا يُنكِحْ، ولا يَخْطُبْ “Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah, dan juga tidak boleh menikahkan.”
Adapun tentang hadits Maimunah riwayat Imam Bukhari yang menyatakan bahwa sesungguhnya Nabi SAW menikahinya saat beliau sedang berihram, menurut mereka, hadits tersebut dipersilisihkan bagaimana kejadiannya.
Selain tidak ada hujjahnya, dimungkinkan juga hal itu hanya khusus berlaku bagi Nabi SAW saja. Sehingga, hadits yang melarang hal ini dinyatakan lebih baik.
Namun demikian yang perlu diketahui mengenai adanya silang pendapat di antara ulama terkait menikah dalam keadaan ihram ini karena adanya pertentangan antara hadits-hadits masalah itu. Di antaranya adalah hadits Ibnu Abbas:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ “Anna Rasulullah SAW tazawwaja Maimunah wa huwa muhrim.” Yang artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW menikahi Maimunah saat beliau dalam keadaan ihram.”
Hadits sahih tersebut diriwayatkan oleh para perawi yang biasa meriwayatkan hadits sahih. Namun hadits tersebut disanggah oleh banyak hadis. Antara lain hadis berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهُوَ حَلَالٌ “Anna Rasulallah SAW tazawwajaha wa huwa halalun.” Yang artinya, “Sesungguhnya Rasulullah SAW menikahinya ketika beliau dalam keadaan sudah tahalul.”
Menurut Abu Umar, hadis itu diriwayatkan dari beberapa jalur sanad; yakni dari jalur sanad Abu Rafi, dari jalur sanad Sulaiman bin Yasar budak Maimunah, dan dari jalur sanad Yazid bin Al-Asham.
Imam Malik juga meriwayatkan sebuah hadis yang bersumber dari Sayyidina Usman bin Affan. Sesungguhnya dia berkata, Rasulullah SAW bersabda:
لا يَنكِحِ المُحْرِمُ، ولا يُنكِحْ، ولا يَخْطُبْ “Laa yankihu al-muhrimu wa la yunkahu wa laa yakhthubu.” Yang artinya, “Orang yang berihram tidak boleh menikah maupun menikahkan, dan juga tidak boleh melamar.”.
Ulama-ulama yang lebih mengunggulkan kedua hadits ini atas hadits Ibnu Abbas, mereka mengatakan bahwa orang yang sedang dalam keadaan ihram tidak boleh menikah atau menikahkan.
Sedangkan ulama-ulama yang lebih mengunggulkan hadis Ibnu Abbas atau mengkompromikan hadits tersebut dengan hadits Sayyidina Usman bin Affan, dengan mengartikan bahwa yang dimaksud ialah larangan yang bersifat makruh, mereka mengatakan bahwa orang yang sedang dalam keadaan ihram boleh menikah atau menikahkan.
Pada dasarnya, menurut Ibnu Rusyd, silang pendapat ini berpulang pada adanya pertentangan Nabi SAW dengan ucapannya. Oleh karena itu, yang tepat ialah mengkompromikannya atau lebih menguatkan ucapan.